Melihat Nasib Pelanggan Setelah UU Nomor 8 Tahun 1999 Berusia 22 Tahun

- 4 September 2021, 21:29 WIB
Wakil ketua komisi komunikasi dan edukasi BPKN-RI Dr. Firman Turmantara Endipradja.
Wakil ketua komisi komunikasi dan edukasi BPKN-RI Dr. Firman Turmantara Endipradja. /Humas BPKN RI/

Namun demikian, menurut dia, ada kecenderungan badan usaha untuk mempersempit perhatian mereka, temasuk juga pemasaran mereka, hanya pada mereka yang sesungguhnya mendistribusikan pesanan. Artinya, Konsumen (Consumer) belum tentu Pelanggan (Customer), tetapi kalau Pelanggan sudah pasti seorang Konsumen juga.

"Apabila seorang konsumen telah melakukan pembelian produk tertentu lebih dari satu kali maka dapat dikatakan bahwa konsumen tersebut adalah seorang Pelanggan (Customer). Dengan kata lain sebagai dasar hukum atau lebih tepatnya sebagai payung hukum (umbrella act) konsumen maupun pelanggan adalah UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)," katanya.

Baca Juga: Gubernur DKI Jakarta Anies Mendapat Mandat Ketua U20 2022

Tanggal 4 September diperingati sebagai Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas), sebelumnya, tanggal 20 April diperingati sebagai Hari Konsumen Nasional (Harkonas), bahkan lebih awal lagi tanggal 15 Maret diperingati sebagai Hari Hak-Hak Konsumen Internasional. Namun setelah UUPK berusia 22 tahun, nasib konsumen dan pelanggan nyaris tidak berubah.

Hal ini bisa dibuktikan dengan masih tingginya angka pengaduan bahkan sengketa konsumen. Data ini bisa dilihat dari masuknya pengaduan konsumen ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Lembaga Komsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) termasuk pengaduan/keluhan konsumen lewat surat pembaca atau medsos, dan masih tingginya sengketa konsumen yang ditangani Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Tingginya angka pengaduan, keluhan dan sengketa antara pelanggan dengan pelaku usaha, terutama terlihat pada masa pandemi ini khususnya di sektor jasa keuangan (dengan pelaku usaha jasa keuangan, seperti kasus pinjaman online dan leasing), meskipun sudah ada peraturan teknis/sektoral seperti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang diubah dengan POJK Nomor 48/POJK.03/2020.

Baca Juga: Sadis, Seorang Ibu Congkel Mata Kanan Anak Kandungnya Sendiri

"Di samping itu, kita memiliki Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (STRANAS-PK), yang juga sebagai landasan sinkronisasi lintas sektoral, yang masif, sinergis, harmonis, dan terintegrasi dalam kebijakan bidang perlindungan konsumen/pelanggan," kaya Firman.

Firman mengatakan, Indonesia telah memperhatikan aspek perlindungan konsumen/pelanggan sejak 22 tahun lalu, dan ketentuan di atas seharusnya melengkapi (complementary act) dari UUPK, namun faktanya belum begitu dirasakan oleh pelanggan jasa keuangan khususnya yang terkena dampak pandemi.

"Sehingga tujuan negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila belum begitu dapat dirasakan secara utuh oleh pelanggan," pungkasnya.***

Halaman:

Editor: Agus Kusnadi

Sumber: HUMAS BPKN RI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah