Terungkap Candi Kidal, Dari Pembunuhan Anusapati Hingga Meramalkan Kemerdekaan Indonesia

- 1 Maret 2022, 19:02 WIB
Candi Kidal.
Candi Kidal. /Instagram @marikemalang/

PRIANGANTIMURNEWS- Lebih dari setengah milenium yang lalu Seorang raja dibunuh di tanah Jawa dan insiden tersebut menyebabkan dibangunnya sebuah candi yang secara ajaib meramalkan kemerdekaan Indonesia Layaknya Nostradamus.

Di Indonesia, di Kabupaten Malang, candi ini dibangun, kira-kira bersamaan dengan saat Eropa masih diteror kekejaman Mongol di bawah Ogadai Khan.

Sebagaimana dilansir priangantimurnews.com dari Youtube ASISI Channel, Sabung ayam adalah hiburan yang sangat digemari di Jawa Kuno Mulai dari rakyat jelata hingga kaum bangsawan Tersebutlah seorang pangeran bernama Tohjaya.

Baca Juga: JELANG PENANGKAPAN KASUS SUBANG, Yosef Didatangi Penyidik dari Polsek Jalancagak di Rumahnya, Ada Apa Ya?

Ia mengajak saudara tirinya untuk beradu sabung ayam Ia tahu betul, saudara tirinya yang sedang bertakhta sebagai raja penghobi sabung ayam Tohjaya,

Putra kandung Sri Rangga Rajasa, sang pendiri wangsa Rajasa, juga tahu siapa pembunuh ayahnya Dialah lawan tandingnya Kali ini.

Raja Anusapati Saat kesempatan itu tiba, ditikamnya sang raja hingga tewas Menurut pemberitaan Kitab Pararaton, insiden itu terjadi pada tahun 1249 Kitab Negarakertagama, di sisi lain, tidak mencatat peristiwa pembunuhan terhadap Anusapati.

Namun, tidak menyebutkan bukan berarti menyangkal Negarakertagama sekadar menerangkan bahwa ketika Bathara Anusapati bertakhta di Tumapel, atau yang kemudian dikenal sebagai Singasari,

Pulau Jawa kokoh sentosa Hingga Sang Raja meninggal pada tahun 1248 Dan diarcakan sebagai Siwa yang gilang-gemilang di Candi Kidal.

Dari Negarakertagama kita tahu, nama candinya tidak berubah sejak zaman Majapahit. Jadi, Kidal bukanlah nama pemberian masyarakat modern sebagaimana candi-candi lainnya.

Baca Juga: Lirik Lagu 'Perbedaan Kasta' Terbaru Dari Tri Suaka FT Saleh Curik : Aku Bukan Orang Kaya

Candi ini ramping, dengan pintu menghadap barat layaknya candi-candi Jawa Timur Terbuat dari batu andesit Atapnya tiga tingkat sebagaimana konsep triloka, yakni tiga alam dalam kosmologi Jawa Kuno Perhatikan kalamakara yang ekspresinya sangat angker.

Namun dipahat dengan ukiran halus dan indah, khas Singhasari Dengan makara menjuntai berbentuk kepala naga, Ukiran-ukiran pada batunya sangat indah Bermotif geometri, floral, dan fauna, motif aneka burung Terdapat arca singa di setiap pojok candi, dengan posisi duduk menyangga selasar.

Singa-singa ini mengingatkan kita pada singa di Candi Jawi, Candi Kidal banyak sekali dihiasi pola miniaturnya sendiri, tidak hanya di sisi tangga, Namun juga di tiap relung.

Menurut laporan warga, dahulu di depan Candi ini terdapat tiga bangunan kecil, yang pasti adalah Candi pewara, atau Candi pengiring Sayangnya, sekarang hanya tersisa batunya saja.

Thomas Stamford Raffles adalah yang pertama melaporkan keberadaan cagar budaya ini dan mencatatnya dalam History of Java Menurut Raffles, saat ditemukan candi ini masih tertutup hutan lebat serta mengalami kerusakan,

Mengingat fungsinya sebagai pendarmaan raja, jelas candi ini dulunya bangunan sakral Yang tentunya harus ada tiga mandala di mana candi ini menempati mandala utama, atau yang paling suci Sayangnya, dua mandala lainnya, yakni mandala madya atau wilayah tengah, dan mandala jaba atau wilayah fana, tidak ditemukan.

Candi Kidal bisa dibilang menyimpan ramalan yang menggambarkan tahap perkembangan negara Indonesia hingga pada kemerdekaannya,

Baca Juga: Akibat Konflik dengan Ukraina, Banyak Konser Dibatalkan Di Rusia: Salah Satunya Band Green Day

Hiduplah dua orang wanita, yakni Dewi Kadru yang memiliki anak-anak berwujud ular dan naga Dan Dewi Winata yang memiliki anak berwujud burung bernama Garuda Karena diperdaya Dewi Kadru,

Dewi Winata kalah bertaruh dan sesuai kesepakatan, harus menjadi hamba.
Maka dimulailah penderitaan panjang Dewi Winata Siang dan malam dia harus merawat ular dan naga anak-anak perempuan licik itu,

Garuda merasa iba dan ingin membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru.

Para ular memberikan syarat yang sangat berat Kebebasan Dewi Winata harus ditukar Garuda dengan air Amertha, yakni air keabadian minuman para dewa Garuda menyanggupinya, dan dimulailah perjuangannya mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan air Amertha.

Garuda harus bertempur melawan para dewa Meskipun patah-arang, Garuda berhasil mendapatkan air Amertha Dengan air tersebut, Garuda berhasil memerdekakan ibunya.

Kisah Garuda di atas, yang dikutip dari Kitab Mahabarata, membawa kita pada bintang utama di Candi Kidal ini. Yakni Garuda. Di Candi Kidal ada Relief Garuda, Terus ini naga, ada tiga naga di atasnya Relief ini menceritakan tentang bagaimana para naga itu menguasai Garuda Jadi garuda masih di bawah kekuasaan para naga.

Kemudian ini ada relief wanita yang sedang digendong oleh Garuda Wanita ini adalah Dewi Winata Di atasnya ada relief ular Artinya bahwa Garuda berhasil membebaskan ibunya Kemudian menggendong ibunya untuk bersiap-siap di bawa pergi.

Meskipun hanya dituangkan dalam tiga fragmen, relief di Candi Kidal cukup merangkum keseluruhan kisah Garuda Dan memberi banyak informasi kepada kita mengenai kehidupan di masa lalu, Ketika candi ini dibangun Misalnya,

Konsep kosmologi di Jawa Kuno, yang mirip Rwa-Bhinneda, yakni membagi dunia menjadi dua sisi yang saling beriring Alam atas dan alam bawah. Alam atas mewakili sifat positif, maskulin, terang, terbuka, suci, dan lain sebagainya,

Baca Juga: Prediksi Skor Valencia vs Athletic Bilbao, H2H, Berita Tim, Starting XI: Copa del Rey 2021-22

Dipersonifikasi sebagai Garuda Dan alam bawah mewakili sifat negatif, feminim, gelap, tertutup, mala atau tidak suci, dan lain sebagainya, dipersonifikasi sebagai Ular Kedua alam ini berada dalam pertempuran kosmis yang abadi.

Itulah sebabnya, Dewa Wisnu sang pelindung alam semesta, digambarkan menginjak ular di dunia bawah, sementara di dunia atas, Dewa Wisnu mengendarai Garuda.

Di Jawa, konsep Garuda mengalami akulturasi menjadi kisah ruwat, Tergambar dalam perjuangan Garuda untuk membebaskan ibunya dari para ular, yang artinya bebas dari dosa atau mala, agar menjadi suci kembali.

Dengan demikian, jelas bagi kita, tujuan dipahatkannya kisah Garudeya di Candi Kidal adalah untuk meruwat Raja Anusapati agar suci kembali dari mala, atau dosa.

Namun, apa sih dosa Raja Anusapati sampai-sampai candinya diberi relief ruwat, Pertama, sumber primer Prasasti Mula Malurung memberitakan Ranggah Rajasa alias Ken Arok meninggal di dampar kencana, atau singgasana, Artinya, mati dibunuh Kedua.

Negarakertagama memberitakan bahwa Anusapati adalah yang kemudian menduduki takhta Ken Arok,
Ketiga, Pararaton melengkapi dengan menyebut Anusapati membunuh ayah tirinya, yakni Ken Arok Jadi, jelas dosa Anusapati adalah membunuh ayahnya.

Relief garuda ini juga menuturkan sesuatu yang lain, yang lebih mengasyikkan dari sekadar kisah Anusapati Pertama, Negarakertagama menyebut Anusapati berpulang ke Siwabuda Loka.

Siwabuda adalah sebutan untuk Tantra Bhairawa aliran Kalachakra. Kedua, meskipun Garuda identik dengan Wisnu, Prapanca mencatat bahwa Raja Anusapati diarcakan sebagai Siwa di Candi Kidal.

Ketiga,Candi Sukuh, Di sana kisah Garudeya dipahatkan sebagai tema utama, Keempat, relief Garuda membawa bokor seperti di Candi Kidal ini, juga bisa ditemuin pada hiasan emas Garudeya, sekarang di Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, yang juga penuh nuansa Tantra Bhairawa.

Kesimpulannya, meski terdapat relief Garuda di Candi Kidal, kepercayaan Raja Anusapati adalah Tantra Bhairawa Siwa-Buddha.

Jadi, aliran ini sudah merasuk di kalangan istana Singhasari jauh sebelum Kertanegara lahir, Ini mengejutkan Garuda Singhasari-Majapahit tidak selalu identik dengan Wisnu atau Waisnawa,Tetapi juga tantra.

Karena pembebasan manusia oleh Garuda, dari pengaruh ular alias dosa, mereka perlukan sebelum menapaki jalan tantra Itulah sebabnya relief Garudeya juga dipahatkan di gerbang Candi Sukuh, agar menaungi mereka yang memasuki pelataran suci.

Apa yang dituturkan Garuda di Candi Kidal ini, tidak sebatas sejarah masa lalu relief ini seolah meramalkan dengan tepat fase-fase perkembangan negara Indonesia.

Relief ini memuat fase Penjajahan relief ini berisi fase Perjuangan Dan relief ini mewakili fase Kemerdekaan Sungguh mengagumkan, karena tiga relief ini dipahat pada zaman ketika tak seorang pun mengetahui bahwa Nusantara akan mengalami tiga fase tersebut di masa depan.

Begitupun falsafah yang terkandung di dalamnya sangat cocok dengan situasi Indonesia pada masa penjajahan, Perjuangan Garuda memerdekakan ibunya dari perbudakan Bisa dibilang memiliki spirit yang sama dengan perjuangan para pahlawan kita memerdekakan Ibu Pertiwi dari penjajahan.

Bahkan, menurut mantan juru pelihara candi, para perancang Garuda Pancasila pernah bertandang ke Candi Kidal untuk menggali inspirasi, dan tentu juga ke candi-candi lainnya.

Pada tahun 1950, terbentuklah panitia yang merancang lembang negara kita. Di antaranya ada Mohammad Yamin selaku ketua, Ki Hajar Dewantara, Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, dan lain sebagainya.

Rancangan yang kemudian diterima adalah karya Sultan Hamid II Anatominya mirip garuda yang terpahat di gerbang Candi Sukuh,

Lihat dua ular yang menghadap berlawanan diganti menjadi pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika Mengenai asal-usul semboyan Bhinneka Tunggal Ika,

Rancangan yang masih berbentuk antropomorfis atau setengah manusia ini terus mengalami modifikasi Paling akhir, garudanya diberi jambul, yang diambil dari elang jawa, satwa asli nusantara.

Kini kita mengenalnya sebagai Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia yang juga menjadi ikon kebhinekaan. Namun, ada lagi yang tidak boleh kita lupakan dari relief Garuda di Candi Kidal.

Di sini, pitarah kita seolah telah memperingatkan suatu bahaya yang menjelang, Yakni adanya kelompok yang memusuhi kebhinekaan,

Relief di Candi Kidal ini, saat mengangkut Tirta Amertha, Garuda memegang rumput Terlihat, rumput tersebut dijadikan pengikat tutup kendi air Amertha Ketika kendi ini diserahkan kepada para ular,

mereka hanya mampu menjilati tutupnya karena terhalangi ikatan rumput Akibatnya, lidah ular teriris tajamnya ilalang, hingga terbelah dua.

Baca Juga: Ini Kelebihan Weton Selasa cek di Sini

Konon, sejak itulah lidah ular bercabang Dalam budaya Jawa, lidah bercabang identik dengan sifat yang tidak bisa dipercaya.

Karakter yang hobinya memperdaya dan menebar kebohongan Atau, kalau kita menariknya ke masa kini, semacam penyebar hoaks atau berita palsu.

Di candi-candi era Singhasari dan Majapahit pun, ular digambarkan menempati dunia bawah.

Mengontraskan dengan tepat antara Garuda yang hari ini menjadi ikon kebhinekaan kita, dengan ular sebagai lawannya, yang memiliki lidah bercabang dan bergerak senyap di bawah tanah.

Karakter ular inilah bahaya yang patut kita waspadai bersama, sebagai anak bangsa dan pewaris kebhinekaan.

Jelas, panel terakhir Garudeya di Candi Kidal sungguh melegakan hati, karena Garuda pada akhirnya berhasil memerdekakan Ibu Pertiwi dari para ular.

Namun, jangan lupa setelah panel kemerdekaan, jika kita memutar akan bersambung pada panel penjajahan lagi Artinya pekerjaan belum selesai Kita masih harus mempertahankan dengan segenap daya apa yang telah diperjuangkan dan diraih oleh para pahlawan kita Yakni kemerdekaan sebuah bangsa yang berbhinneka.***

Editor: Agus Kusnadi

Sumber: Youtube ASISI Channel


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah