Politik Menyeret Sutan Sjahrir Mendekam di Penjara

- 4 Juni 2022, 16:21 WIB
Sutan Sjahrir.
Sutan Sjahrir. /Sjahrir Peran Besar Bung Kecil

PRIANGANTIMURNEWS- Mata perempuan itu terbelalak. Dia sungguh tak percaya dengan perubahan tubuh pria di depannya. Pipi Sutan Sjahrir, si pria itu, yang masih terbilang familinya, terlihat penuh.

Badannya pun melar. Apakah gerangan yang terjadi ? Apakah setelah dia tak lagi menyediakan ransum, ada orang lain yang mengiriminya makanan ? Atau jangan-jangan makanan yang alakadarnya di penjara membuat Sjahrir terserang beri-beri ?

Sjahrir, yang menjadi pangkal keterkejutannya, tak punya jawaban pasti untuk menjelaskan perubahan tubuhnya itu.

Namun, kepada ibu Djohan Sjahruzah, wartawan yang juga mendekam di Cipinang dan masih terbilang kemenakannya itu, Sjahrir menjelaskan tubuhnya tidak terkena beri-beri.

Baca Juga: SEJARAH, Sjahrir dan Hatta Mendirikan Partai Pendidikan Indonesia Lebih Radikal dari Soekarno

Dia menjadi gendut, kata Sjahrir, karena selalu menghabiskan makanan yang diberikan."Bukan karena selera, tapi aku berpikir harus menghabiskannya," begitu tulis Sjahrir dalam suratnya untuk Maria Duchateau, sang istri di Belanda.

Sjahrir ke Cipinang gara-gara aktivitas politiknya di Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Bersama Hatta, Sjahrir yang melanjutkan Partai Nasional Indonesia bentukan Soekarno itu di bui.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda mencegat Sjahrir, yang ketika itu hendak pergi ke Belanda untuk melanjutkan studinya.

Selain dirinya, masuk juga beberapa nama lain. Hatta dan Bondan digiring masuk ke penjara Glodok di Batavia. Tiga orang lainnya, yakni Burhanuddin, Maskoen, dan Soeka, dikirim ke Sukamiskin, Bandung.

Baca Juga: Drama 'Why Her?' dan 'Doctor Lawyer' Tayang Perdana, Begini Perolehan Ratingnya

Nah, hanya Sjahrir yang dimasukan ke penjara Cipinang, di daerah Meester Cornelis, Batavia. Namun, dibanding tahanan lain, Sjahrir terbilang beruntung. Sel yang mengurungnya terhitung luas. Di bagian luarnya ada kebun kecil.

Di luar itu, dia mendapatkan kemewahan lain. Dia boleh menerima tamu, membaca dan menulis, dan juga dapat kiriman ransum, salah satunya dari Ibu si Djohan, bahkan boleh memesan dari restoran.

Sayang kemewahan itu hanya berlangsung empat bulan pertama. Setelah itu semuanya tercerabut. Ibu Djon panggilan akrab Djohan Sjahruzah tak lagi mampu mengirim makanan.

Baca Juga: Jelang Turnamen Pra Musim, Mark Hartmann Akan Segera Tiba di Bandung, Ini Profil dan Biodatanya

Kawan yang biasa memasok buku-buku ke dalam penjara juga telah kembali ke Belanda. Semua kontak dengan dunia luar putus.

Praktis tak ada yang bisa dilakukannya. Sehari-hari dia menulis tentang segala hal yang berkecamuk dalam benaknya. Tentang Islam dan fanatisme.

Tentang Salin, pelukis muda yang besar di Belanda, yang diajaknya kembali melihat tanah leluhurnya. Namun, dia kecewa karena seniman muda yang diberi nama samaran Sulaiman itu tidak banyak memahami tanah jajahan.

Hingga akhirnya, hanya pada Mar istrinya yang tinggal di Belanda, dia tak putus berhubungan. Sjahrir sadar, semua itu hanya sementara. Dirinya sadar betul akan dihukum di tempat lain.

Dia berharap hukuman lanjutannya ringan. Paling tidak ke Flores, misalnya. Pada 9 Desember 1934, keputusan itu memang turun. Sebelas bulan berada di Cipinang, dia harus pindah tapi bukan ke Flores, melainkan ke Boven Digul.

Baca Juga: UPDATE KASUS SUBANG: Banyak Motif di Balik Kasus Pembunuhan Ibu dan Anak, di Antaranya...

Jelas bukan tempat yang menyenangkan. Terletak di tengah pulau Papua, kawasan atas Digul ini dihuni banyak nyamuk malaria yang ganasnya minta ampun.

Awal 1935, bersama Hatta, Bondan, dan Burhanuddin, dia pun berangkat ke ujung timur Nusantara itu. Sjahrir diangkat dengan sebuah mobil polisi ke pelabuhan Batavia, untuk menuju rumah baru di Boven Digul.

Sjahrir menganggap perjalanan ini seperti safari wisata, laut dan langit biru yang ditemuinya dalam perjalanan tiga hari tiga malam itu begitu mempesonanya.

Namun, sesampai tujuan, kesulitan langsung mendera. Bagaimanapun, hidup di Cipinang jauh lebih nikmat. Disana dia harus membangun rumahnya sendiri dengan menebang kayu, tanahnya pun tidak subur, sulit ditandur.***

Editor: Agus Kusnadi

Sumber: Buku Sjahrir Peran Besar Bung Kecil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x