Kitab Kuning dan Tradisi Keilmuan Pesantren Oleh Dra. Hj. Badriyah Fayumi

- 13 April 2022, 19:26 WIB
Dra Hj Badriyah Fayumi, Lc.
Dra Hj Badriyah Fayumi, Lc. /Kemenag RI/

Mengapa Kitab “Kuning”?

Sebutan kitab “kuning” awalnya memang karena pada zaman dahulu kitab itu banyak dicetak di atas kertas-kertas yang berwarna kuning, dan bentuknya khurasan.

Dalam 1 khurasan biasanya terdapat 4 halaman yang ukurannya selebar kertas folio. Dalam perkembangan zaman seperti sekarang, penyebutan kitab kuning juga dapat merujuk pada kitab yang menggunakan kertas putih.

Sehingga, walaupun kitab kuning sudah dicetak dengan teknik cetakan modern, akan tetapi pengertian itu tidak hilang karena kita memahami substansinya, bukan bungkusnya.

Jadi, nama kitab kuning itu lebih mengacu pada bungkus, tapi walaupun bungkusnya sudah berubah namanya tetap ada karena substansinya tidak berubah.

Keunikan Kitab Kuning

Tradisi keilmuan pesantren berbasis kitab kuning memang unik. Setidaknya ada tiga hal yang mendasari keunikan tersebut.

Pertama, tradisi kitab kuning dapat menjamin adanya pembelajaran yang berurutan, berjenjang, dan tuntas.

Biasanya, ketika santri mempelajari satu kitab dasar sudah khatam, baru kemudian beranjak ke kitab lainnya yang levelnya lebih tinggi. Jadi, kitab itu seperti tangga, jika hendak melangkah ke tangga kedua, maka tangga pertama harus sudah selesai dilewati.

Tradisi pembelajaran kitab kuning yang ada urutan dan jenjangnya itu ada di semua bidang ilmu, misalnya dalam ilmu Nahwu yang pertama dipelajari biasanya kitab Jurumiyah, yang kedua ‘Imriti atau pun syarahnya, kemudian dapat beranjak ke kitab Alfiyah.

Halaman:

Editor: Agus Kusnadi

Sumber: Kemenag


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah