"Kalau di dalam Al Quran terdapat ayat yang mujmal (umum), hadits atau sunnahlah yang menjelaskannya (mufashshal) secara
terperinci," tambah Buya Hamka.
Baca Juga: Menyambut HUT RI dan HDKD ke 77 Lapas Tasik Lestarikan Budaya Buhun
Sebagai contoh, dalam Al Quran ada perintah untuk berwudhu' dan melaksanakan sholat, maka hadits atau sunnah, atau perbuatan Rasulullah haruslah dijadikan teladan dalam hal bagaimana proses dalam melaksanakan wudhu' dan sholat tersebut. Begitu juga dengan perintah atau hukum-hukum yang lainnya.
Maka dari itu, Buya Hamka menegaskan bahwa hadits dan "sunnahlah pensyarah, penafsir, dan penjelasan bagi Al Quran." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 25).
Itulah dasar untuk menafsirkan Al Quran. Namun, Secara terperinci, Buya Hamka juga menjelaskan bahwa ayat-ayat Al Quran bila dilihat dari segi sunnah atau segi hadits terbagi pada tiga bagian:
Baca Juga: Sambut HUT RI ke 77, Bapenda Pangandaran Gelar Lomba. Dadang Okta: Tingkatkan Sinergisitas Pegawai
Bagian pertama, adalah ayat-ayat yang mengandung "hukum-hukum yang bersangkutan dengan halal dan haram, faraidh dan wajibat (suruhan dan perintah yang mesti) atau yang dianjurkan (mandubat), atau yang dilarang dan dihukum siapa yang
melanggarnya (mahzhurat)."
"Di samping itu ialah beberapa peraturan, undang-undang dan hukum yang berkenaan dengan Daulah Islamiyah (kenegeraan Islam), atau lebih jelas lagi," tulis Buya Hamka.
Ayat-ayat tentang hukum-hukum ini, sebagaimana disampaikan Buya Hamka, "telah dijelaskan dengan tegas tafsirnya oleh sunnah dan hadits Nabi, dan akal tidak banyak kesempatan untuk menerawang atau mencari penafsiran yang lain daripada yang telah ditentukan Nabi." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 26).