Produk Makanan dan Minuman Nestlé Tidak Sehat? Ini Tanggapan BPKN RI

21 Juni 2021, 14:12 WIB
Ketua Komisi Advokasi BPKN RI, Dr Rolas B Sitinjak saat menyampaikan bahwa BPKN RI terus melakukan pendalaman terkait isu yang menerpa Nestlé /BPKN RI/

PRIANGANTIMURNEWS- Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) saat ini tengah mendalami pemberitaan Financial Times terkait kondisi kesehatan dari produk-produk makanan dan minuman yang diproduksi oleh Nestlé.

Dalam laporannya, Financial Times mengabarkan bahwa berdasarkan dokumen presentasi internal perusahaan Nestlé, disebutkan lebih dari 60 persen produk-produk makanan dan minuman yang diproduksi oleh perusahaan tersebut tidaklah sehat.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa hanya 37 persen dari produk makanan dan minuman Nestlé yang mendapatkan rating di atas 3,5 dari Autralia Health Rating System, yang merupakan ambang batas untuk mengakui kesehatan sebuah produk.

Baca Juga: Penyelidikan Kabinet Israel Mengenai Penyerbuan Festival Mematikan

Sistem rating yang memiliki poin maksimal 5 tersebut merupakan sistem yang telah dijadikan rujukan penelitian-penelitian Internasional, seperti Access to Nutrition.

Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa Nestlé sendiri telah mengakui tentang rating dengan poin 3,5 itu. Selain itu, di dokumen tersebut juga tertulis bahwa beberapa produk perusahaan tidak akan pernah sehat meski dilakukan banyak ‘pembaruan’.

Dokumen itu juga menyebutkan bahwa sekitar 70 persen dari produk makanan yang diproduksi Nestlé telah gagal memenuhi ambang batas kesehatan, bersama dengan 96 persen produk minuman – tidak termasuk kopi murni – dan 99 persen manisan dan es krim Nestlé.

Baca Juga: 5 Tips Sehat Untuk Para Pecinta Makanan Pedas

Adapun Air dan produk susu yang diproduksi Nestlé mendapat skor lebih baik, dengan 82 persen air dan 60 persen produk susu memenuhi ambang batas.

Menanggapi laporan Financial Times tersebut, BPKN RI telah melakukan diskusi terbatas bersama Nestlé dan BPOM terkait isi pemberitaan tersebut. Pihak Nestle Indonesia juga sudah memberikan keterangan publik merespon pemberitaan itu.

Dr Rolas B Sitinjak, sebagai Ketua Komisi Advokasi BPKN RI menyampaikan bahwa BPKN RI terus melakukan pendalaman terkait isu yang menerpa Nestlé dan tidak tertutup kemungkinan untuk merek-merek perusahaan lainnya karena menyangkut kesehatan dan keselamatan konsumen.

Baca Juga: Amerika Serikat Memberi Peringatan Tentang Pembicaraan Nuklir Iran Tidak Berakhir Terbuka

Pengaturan terkait dengan pangan dan keamanan pangan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-undang 18 tahun 2012 tentang Pangan yang diturunkan dalam Peraturan Pemerintah 86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan.

Kemudian, BPOM juga mengeluarkan petunjuk teknis dalam bentuk Peraturan Badan POM Nomor 22 tahun 2019 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan.

Rolas juga menjelaskan bahwa pencantuman kandungan Gula-Garam-Lemak (GGL) di dunia juga sudah ditetapkan dalam panduan “Guidelines on Nutrition Labelling” yang dikeluarkan oleh Codex Allimentarius Commission (komisi yang dibentuk dari kerjasama FAO-WHO).

Namun menurut Rolas, panduan ini tentunya perlu dipahami sebagai bagian dari pola konsumsi secara keseluruhan. Misalnya batas maksimum konsumsi Gula yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan 2013 pada pasal 4 ayat (2) terkesan hanya menyampaikan potensi risiko konsumsi gula lebih dari 50 gram per hari.

Hal ini kemudian diterjemahkan bahwa penggunaan kandungan gula pada pangan olahan yang diperbolehkan oleh regulasi adalah maksimum 50 gram per hari.

"Ini tentu berpotensi bias, karena konsumsi gula maksimum per hari berbeda pada setiap kelompok umur, kultur, pola konsumsi, dan tentunya gaya hidup," ungkap Rolas.

Sementara itu, tahun 2015, WHO sudah mengeluarkan batas maksimum konsumsi gula orang dewasa kurang 10 persen dari total konsumsi energi dan rekomendasi yang dianjurkan berikutnya (strongly recommended) adalah kurang dari 5 persen dari total konsumsi energy.

Rolas juga menambahkan bahwa misalnya di Indonesia, mengikuti Permenkes 2013, dengan konsumsi tidak melebihi 50 gram per hari, dan perusahaan memproduksi pangan olahan dengan kandungan di bawah 50 gram (bisa 5 gram, bisa 7 gram, bisa juga 20 gram, dan sebagainya), maka hal tersebut tidak melanggar regulasi yang ada.

"Namun demikian tentunya konsumsi pangan olahan dengan kandungan gula tertentu tidak memberikan informasi yang jujur terkait kelebihan konsumsi yang bisa dilakukan oleh masyarakat," ungkap Rolas.

"Padahal kandungan yang dimaksud dalam label pangan tesebut bisa saja bermakna dalam 1 bungkus kemasan, bisa juga dalam 1 potong dalam kemasan. Belum persoalan lain budaya konsumsi nasi di Indonesia (pagi, siang dan malam)," lanjutnya.

"Dengan demikian, probabilitas konsumsi gula berlebih bagi masayarakat Indonesia sangatlah tinggi. Ini yang menjadi perhatian serius BPKN RI, sehingga kami terus melakukan penelusuran dan menunggu respon dari pemangku kepentingan lainnya seperti BPOM, Kementerian Kesehatan untuk selanjutnya kami finalkan dalam bentuk rekomendasi kepada Bapak Presiden," pungkas Rolas.***

Editor: Agus Kusnadi

Sumber: Siaran Pers BPKN RI

Tags

Terkini

Terpopuler