Perundingan Linggarjati dan Diplomasi Cerdik Sutan Sjahrir

- 7 Juni 2022, 09:12 WIB
Sutan Sjahrir di perundingan Linggarjati/Sjahrir Peran Besar Bung Kecil/
Sutan Sjahrir di perundingan Linggarjati/Sjahrir Peran Besar Bung Kecil/ /

PRIANGANTIMURNEWS- Bila bergaya kolonial itu masih berdiri kokoh. Di atas lahan 2,4 hektare bangunan bercat putih dan hijau lumut seluar 800 meter persegi itu seolah ingin merengkuh keindahan kaki gunung ceremai di Kuningan, Jawa Barat.

Di Bekasi Hotel Rustoord itulah, di kawasan Linggarjati nan permai, digelar perundingan bersejarah antara Indonesia dan Belanda.

Sepanjang 11-14 November 1946, Sutan Sjahrir, Perdana Menteri berusia 37 tahun, memimpin pertarungan diplomasi tingkat tinggi. Anggotanya Mochamad Roem, Soesanto Tirtoprodjo keduanya meester in de rechten dan dokter Soedarsono.

Peran sejarah Sjahrir agak kurang terjelaskan bila kita mengunjungi bila yang sekarang menjadi museum Gedung Perundingan Linggarjati itu. 

Baca Juga: Ketika Anak Merasa Asing Dengan Ayahnya

Di dalam museum memang tersimpan berbagai memorabilia, mulai tandatangan Sutan Sjahrir, foto perundingan, juga kursi dan meja sidang.

Namun tak ada penjelasan bagaimana jalan perundingan, dan apa makna penting Linggarjati bagi Indonesia.

"Kami hanya tahu perundingan berjalan tertutup, sehingga tidak banyak informasi yang didapat," kata Sukardi, petugas Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Kuningan, Lembaga pengelola museum."Kami sangat berhati-hati menjelaskan, karena salah sedikit sejarawan bisa datang kemari,".

Di sekolah-sekolah selama ini cenderung diajarkan Linggarjati adalah perjanjian yang menguntungkan Belanda. Hasilnya dianggap terlalu kompromistis.

Baca Juga: Heboh Tiket Candi Borobudur 750 Ribu, Direktur Taman Wisata Candi Borobudur Beri Penjelasan

Linggarjati memutuskan, wilayah Indonesia secara de fakto hanya Jawa dan Sumatera, dan kemudian Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat yang tergabung dalam Uni Indonesia Belanda.

"Linggarjati terutama dikritik oleh pengikut Tan Malaka, pengikut Bung Tomo, atau tentara, yang menuntut kemerdekaan 100 persen," kata Wartawan senior, Sabam Siagian. Sabam melihat, selama ini ada kesalahan menilai peran Sjahrir dalam Linggarjati.

Perundingan Linggarjati adalah hasil diplomasi berliku yang diusahakan Sjahrir. Setelah proklamasi, situasi Indonesia sangat genting. Belanda datang kembali membonceng sekutu. Mereka mendarat di Tanjung Priok pada 29 September 1945.

Pejabat NICA (Netherlands Indies Civil Administration) berpikir bisa berkuasa dengan menangkap dwitunggal Soekarno-Hatta. Kedua pemimpin ini dianggap berkolaborasi dengan Jepang. NICA bermaksud mengambil alih semua departemen dari tangan Jepang.

Baca Juga: Cek Ramalan zodiak Libra di Bulan Juni 2022: Perlu Disiplin Terkait Keuangan

Pertempuran besar meletus di berbagai kota, menghadang Belanda yang bersembunyi di balik sekutu. Semarang di guncang perang lima hari, 14-19 Oktober 1945.

Sehari kemudian, Jenderal Soedirman dan tentara keamanan rakyat bergelimang darah menahan laju tentara Sekutu di Ambarawa.

Tak berapa lama, Surabaya membara pada 10 November. Perang hadir di depan mata, dan Indonesia terancam kalah."Adalah Sjahrir yang bisa membalik semua keadaan itu dalam waktu cepat," kata Rushdy Hoesein, pengamat sejarah dan peneliti Linggarjati. "Dia pasang badan."

Pada 14 November 1945, sistem presidensial diubah menjadi sistem parlementer. Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri pertama. 

Baca Juga: Kontrak James Milner di Liverpool Resmi Diperpanjang, Sang Pemain Terima Gelar MBE dari Ratu Inggris

Inggris mengajak berunding, pada 23 November, kabinet Sjahrir menjawab maklumat, Indonesia tak Sudi berunding selam Belanda berpendirian masih berdaulat di Indonesia.

Belanda lalu memblokade, Jawa dan Madura. Tapi Sjahrir melakukan diplomasi cerdik. Meskipun dilanda kekurangan pangan, Sjahrir memberikan bantuan beras ke India pada Agustus 1946. Tindakan Sjahrir ini membuka mata dunia.

Sebelumnya, pada 1 February 1946, ia nyaris berhasil memaksa utusan Inggris, diplomat senior Sir Archibald Clark-Kerr, berbicara dengan Soekarno. Sayang, Soekarno, yang sudah berada di Yogyakarta, menolak datang ke Jakarta.

Seperti bermain catur, sedikit demi sedikit Sjahrir terus menekan pemerintah Belanda melalui diplomasi. Ia terus menerus mengupayakan agar Indonesia dan Belanda duduk di meja perundingan.

Baca Juga: Soekarno, Mochamad Hatta dan Sutan Sjahrir Tiga Serangkai Ahli Waris Revolusi

Kesempatan pertama datang dalam perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, 14-16 April 1946. Ketika itu Indonesia mengajukan tiga usul, pengakuan atas Republik Indonesia sebagai pengemban kekuasaan di seluruh berkas Hindia Belanda.

Pengakuan de fakto atas Jawa dan Madura, serta kerja sama atas dasar persamaan derajat antara Indonesia dan Belanda. Usul itu ditolak Belanda.

Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus penengah konflik Indonesia-Belanda.

Konsulat Inggris di Jakarta mengumumkan, selambat-lambatnya pada 30 November 1946 tentara Inggris akan meninggalkan Indonesia. 

Baca Juga: KASUS SUBANG: Perkara Pembunuhan Ibu dan Anak Ini Belum Terpecahkan, Ada Apa?

Kabinet baru Belanda kemudian mengutus Schermerhorn sebagai komisi Jenderal untuk berunding dengan Indonesia. Schermerhorn di bantu tiga anggota, Van Der Poll, De Boer, dan Letnan Gubernur Jenderal H.J Van Mook.

Perundingan itulah yang kemudian terjadi di Linggarjati. Lokasi itu diusulkan oleh Maria Ulfah Santoso (Menteri Sosial) yang dekat dengan Sjahrir. Ayah Maria pernah menjadi Regent (Bupati) Kuningan.***

 

Editor: Galih R

Sumber: Buku Sjahrir Peran Besar Bung Kecil


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah