Dasar Menafsirkan Al Quran dalam Pandangan Buya Hamka: Kajian Tafsir Al Azhar

16 Agustus 2022, 12:09 WIB
Potret surat Al Nahl, yang dijadikan dalil oleh Buya Hamka terkait teori dasar dalam menafsirkan Al Quran yang ia tulis dalam Tafsir Al Azhar. /Al Quran Al Karim/

PRIANGANTIMURNEWS- Artikel ini akan membahas secara singkat mengenai teori dasar dalam menafsirkan Al Quran dalam pandangan Prof Dr Haji Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah, atau yang populer dikenal dengan panggilan Buya Hamka.

Teori dasar mengenai cara menafsirkan Al Quran ini dijelaskan Buya Hamka dalam karya monumental-nya, Tafsir Al Azhar.

Dalam Tafsir Al Azhar tersebut Buya Hamka menjelaskan bahwa menafsirkan Al Quran itu tidaklah dilakukan dengan sembarangan tanpa mengetahui hal-hal detail dari ayat-ayat Al Quran itu sendiri.

Baca Juga: Kasus Subang Terbaru, Akhirnya Penyidik Menemukan Satu Bukti Kuat yang Bisa Menetapkan Tersangka? Ini Faktanya

Sehingga dalam penjelasannya Buya Hamka menyebutkan bahwa menafsirkan Al Quran memerlukan cara yang khusus agar dapat ditemukan mana tafsir yang benar dan tepat sebagaimana maksud sebenarnya dari ayat-ayat itu.

Maka dari itu, Buya Hamka menjelaskan bahwa hal yang paling dasar dalam menafsirkan Al Quran itu adalah dengan cara mencari penjelasan tentang ayat-ayat yang akan ditafsirkan itu melalui hadits.

Dalam hal ini, Buya Hamka mengutip dalil yang tertera dalam Al Qur'an surat Al Nahl ayat 44:

Baca Juga: Bharada E Resmi Jadi Justice Collaborator dan Sekarang Dapat Perlindungan Penuh

و أنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم و لعلهم يتفكرون (النحل: ٤٤)

Artinya: Dan kami telah menurunkan peringatan (ingatan) kepadamu (Muhammad) supaya kamu bisa menjelaskan kepada manusia-manusia apa (ayat-ayat) yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka berfikir. (Al Nah: 44).

Dalam hal ini, Buya Hamka mengartikan kata Dzikr dalam ayat tersebut sebagai "peringatan atau ingatan atau ingat." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 25.)

Dan lebih lanjut lagi, Buya Hamka menafsirkan kata Dzikr dalam ayat tersebut dengan "segala perbuatan Rasulullah yang dinamai Sunnah yang beliau kerjakan dengan sadar, supaya Sunnah beliau menjadi keterangan dan penjelasan daripada Al Quran itu." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 25).

Baca Juga: Kumpulan Twibbon Tema Hari Kemerdekaan RI Ke 77, Template Paling Baru dan Unik, Dwonload Disini

Sehingga, itulah mengapa, sebagaimana penjelasan Buya Hamka, 'Aisyah ketika ditanya oleh orang bagaimanakah akhlak Rasulullah SAW? maka isteri Rasul itu pun menjawab: "Akhlaknya Rasul ialah al-Quran itu sendiri!"

Maka atas dasar inilah Buya Hamka kemudian menjelaskan bahwa teori dasar dan paling utama dalam menafsirkan Al Quran itu adalah dengan hadits (sunnah) nabi itu sendiri.

Di mana dalam hal ini, Buya Hamka menjelaskan bahwa yang dimaksud oleh hadits atau sunnah nabi di sini adalah mencakup "ucapan/perkataan (aqwal) dan perbuatan (af'aal) Nabi dan perbuatan orang lain, yaitu sahabat-sahabatnya, yang mereka kerjakan di hadapan beliau, lalu dibiarkannya saja tidak dicegahnya (taqrir)." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm 25). Itulah dasar dari tafsir Al Quran yang paling utama.

Baca Juga: Datangi Rumah Irjen Ferdy Sambo di Magelang, Timsus Cari Data Tambahan

Dengan kata lain, hadits atau sunnah Rasulullah itu adalah penjelasan atau tafsir dari Al Quran itu sendiri. Sehingga, sebagaimana dijelaskan oleh Buya Hamka bahwa tidaklah boleh seseorang menafsirkan Al Quran dengan penafsiran yang berlawan dengan Sunnah." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm 25).

"Bahkan wajiblah Sunnah menyoroti tiap-tiap Tafsir yang hendak ditafsirkan oleh seorang Penafsir," tulis Buya Hamka.

"Kalau di dalam Al Quran terdapat ayat yang mujmal (umum), hadits atau sunnahlah yang menjelaskannya (mufashshal) secara
terperinci," tambah Buya Hamka.

Baca Juga: Menyambut HUT RI dan HDKD ke 77 Lapas Tasik Lestarikan Budaya Buhun

Sebagai contoh, dalam Al Quran ada perintah untuk berwudhu' dan melaksanakan sholat, maka hadits atau sunnah, atau perbuatan Rasulullah haruslah dijadikan teladan dalam hal bagaimana proses dalam melaksanakan wudhu' dan sholat tersebut. Begitu juga dengan perintah atau hukum-hukum yang lainnya.

Maka dari itu, Buya Hamka menegaskan bahwa hadits dan "sunnahlah pensyarah, penafsir, dan penjelasan bagi Al Quran." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 25).

Itulah dasar untuk menafsirkan Al Quran. Namun, Secara terperinci, Buya Hamka juga menjelaskan bahwa ayat-ayat Al Quran bila dilihat dari segi sunnah atau segi hadits terbagi pada tiga bagian:

Baca Juga: Sambut HUT RI ke 77, Bapenda Pangandaran Gelar Lomba. Dadang Okta: Tingkatkan Sinergisitas Pegawai

Bagian pertama, adalah ayat-ayat yang mengandung "hukum-hukum yang bersangkutan dengan halal dan haram, faraidh dan wajibat (suruhan dan perintah yang mesti) atau yang dianjurkan (mandubat), atau yang dilarang dan dihukum siapa yang
melanggarnya (mahzhurat)."

"Di samping itu ialah beberapa peraturan, undang-undang dan hukum yang berkenaan dengan Daulah Islamiyah (kenegeraan Islam), atau lebih jelas lagi," tulis Buya Hamka.

Ayat-ayat tentang hukum-hukum ini, sebagaimana disampaikan Buya Hamka, "telah dijelaskan dengan tegas tafsirnya oleh sunnah dan hadits Nabi, dan akal tidak banyak kesempatan untuk menerawang atau mencari penafsiran yang lain daripada yang telah ditentukan Nabi." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 26).

Baca Juga: Inilah 25 Link Twibbon HUT Kemerdekaan RI ke 77, Cocok Jadi Profil Media Sosial, pada Momen 17 Agustus 2022

Ayat-ayat Al Quran tentang hukum inilah bagian paling utama dan merupakan inti dari kerasulan Nabi Muhammad SAW. Di mana dalam hal ini Nabi telah menjelaskan, mengurai, dan menunjukkan bagaimana pelaksanaan hukum-hukum itu melalui perkataan (aqwaal), perbuatan (af'aal), dan pengakuannya (taqrir).

"Kalau Nabi tidak menjelaskannya, maka belumlah sempurna dia menjalankan tugasnya sebagai Rasul," tulis Buya Hamka.

Maka dari itu, menurut Buya Hamka, mustahil bila Nabi tidak menyampaikan dengan lengkap dan sempurna apa yang Allah perintahkan untuk disampaikan kepada kita.

Baca Juga: Terungkap!! Ajudan Ferdy Sambo Inisial D Diduga Menghasut Ajudannya untuk Mengeksekusi Brigadir J

Oleh sebab itu, segala hukum-hukum Fiqhiyah yang ada dalam Al Quran, baik yang berkaitan dengan ibadah atau dengan mu'amalah atau dengan kemasyarakatan, menurut Buya Hamka, semuanya telah disampaikan dan dijelaskan secara terperinci oleh hadits dan sunnah nabi.

"Dan syukur Alhamdulillah Sunnah Rasul, sejak dari perkataan-perkataan beliau, sampai perbuatan orang lain yang tidak beliau tegur; dengan kerja keras para ahlinya telah terkumpul menjadi kitab-kitab Hadis, mana yang mustafidh (sangat dikenal), mana yang sahih, mana yang hasan dan mana yang dha'if," tulis Buya Hamka.

Oleh sebab itu, Buya Hamka menjelaskan bawa jika ada seseorang berani menafsirkan begitu saja ayat-ayat hukum dalam Al Quran tanpa berpedoman pada sunnah dan hadits Rasul, maka ia telah menafsirkan dengan cara yang salah dan telah keluar dari aturan yang telah ditentukan dalam syariat.

Bagian kedua, ada pula ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan tentang "Akidah", doktrin, atau kepercayaan.

Baca Juga: 30 Link Twibbon Hari Kemerdekaan RI Ke 77, Diperingati Pada 17 Agustus 2022, Pas Dipasang di Profil Wa, IG, FB

Di mana, sebagaimana disampaikan Buya Hamka, bahwa dalam menjelaskan terkait akidah ini, "Al Quran seringkali mengemukakan perbandingan dan anjuran-anjuran supaya meninjau dan mencurahkan perhatian, lalu membukakan sedikit tabir rahasia kejadian alam." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm 27).

Semua perumpamaan dalam Al Quran tentang rahasia kejadian alam itu, menurut Buya Hamka, bertujuan untuk memperkuat kesadaran dan keimanan kita kepada Allah.

Ayat-ayat Al Quran mengenai peristiwa dan rahasia alam ini, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka, merupakan "bahan-bahan atau fakta-fakta yang indah sekali buat diilmukan." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 27)

Maka dari itu, dalam menafsirkan ayat-ayat tentang peristiwa dan rahasia alam ini, menurut Buya Hamka, ada dua hal yang perlu dimiliki oleh seorang penafsir (mufassir):

Baca Juga: Khutbah Jumat Singkat dan Padat tentang Qurban, Ketaatan Nabi Ibrahim, dan Tafsir Surat Al Kautsar

"Pertama, pengetahuan tentang bahasa (lughah) dan makna dari tiap lafaz yang tertulis dalam ayat itu. Kedua, pengetahuan tentang ilmu alam yang berkenaan dengan ayat tersebut." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 27)

Kedua hal ini diperlukan agar tidak terjadi penafsiran yang keliru dari maksud yang sebenarnya dari ayat-ayat tersebut.

Hal ini juga lantaran, sunnah atau hadits Rasul "tidaklah terlalu banyak meninggalkan meninggalkan penjelasan tentang (peristiwa dan rahasia alam) itu." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm 27.

Pengetahuan terperinci tentang peristiwa dan rahasia alam juga belum meluas pada masa itu, baik dalam masyarakat Arab sekeliling atau pada masa hidup Rasulullah sendiri.

Baca Juga: Apa Fadilah atau Keutamaan Sholat Tarawih Pada Malam Ke 23 Bulan Suci Ramadhan? Ini Penjelasannya

Pada masa itu juga bahkan ilmu hisab dan Falak belum berkembang meskipun sudah turun Surat Yunus ayat 5 yang di dalamnya menyebutkan bahwa "Allah telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan ditentukan jangka ukuran jalannya
masing-masing." (QS. Yunus: 5)

Dalam surat Yunus ayat 5 itu juga nyata-nyata dijelaskan bahwa "yang demikian itu ialah agar kamu mengetahui bilangan tahun ke tahun dan ilmu hitung," (QS. Yunus: 5), tetapi dalam hal ini Nabi sendiri tidak pernah menguraikan secara terperinci terkait teori ilmu hisab dan Falak itu sendiri.

Maka dari itu, Buya Hamka kemudian menjelaskan bahwa dalam hal atau ayat yang berkenaan dengan peristiwa dan rahasia alam ini, "seorang penafsir hendaklah menuruti perkembangan ilmu pengetahuan." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 28).

Bagian ketiga, adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah-kisah para nabi dan ceritera-ceritera zaman lampau.

Baca Juga: Siap-Siap Banjir Pahala! Ini Keutamaan Memperbanyak Puasa Sunnah di Bulan Muharram, Catat Tanggalnya Amalkanla

Menurut Buya Hamka, "maksud dan tujuan ceritera itu ialah untuk pengajaran dan i'tibar. Di dalamnya banyak disebutkan perjuangan Nabi-nabi dan Rasul-rasul Allah menegakkan faham Tauhid dan soal-jawab di antara
mereka dengan ummat yang mereka datangi." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 28)

Dalam ayat-ayat tentang kisah dan cerita ini, kita banyak menemukan kisah nabi-nabi, sejak dari Adam, Nuh, Idris, Ibrahim, Musa, Ismail dan lain-lain. Namun, yang perlu diketahui di sini adalah bahwa maksud dari segala kisah dan cerita itu, adalah bukan cerita, kisah, atau sejarah itu sendiri, "melainkan isi dan pengajaran dan perbandingan (i'tibar) yang ada di dalamnya." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm: 28).

Oleh sebab itu, Buya Hamka kemudian menjelaskan bahwa bagian ketiga inilah yang agak rumit di dalam menafsirkan Al Quran.

"Di bagian inilah kita kerap kali bertemu dongeng-dongeng yang tidak masuk akal kalau dibangsakan kepada Agama Islam yang menghormati kemurnian akal," tulis Buya Hamka.

Baca Juga: Terjemahan Surat Al Fatihah, yang Turun di Kota Mekkah, Lengkap dengan Bacaan Arab dan Latin

"Di dalam (bagian ketiga) inilah (seringkali ditemukan) campur-aduk di antara yang masuk akal dengan yang karut, di antara dongeng-dongeng dengan kenyataan, sehingga berkali-kali kebenaran ayat al-Quran diliputi oleh lumut khurafat yang tak masuk akal," tambah Buya Hamka.

Inilah yang dinamakan dengan Tafsir Israiliyat, yaitu menafsirkan ayat-ayat tentang kisah-kisah orang terdahulu dengan cerita-cerita yang kerapkali dibawa oleh orang Yahudi yang masuk Islam.

"Yang sangat terkenal ialah Ka'bul Ahbar dan Wahab bin Munabbih, keduanya orang Yahudi masuk Islam, banyak membawa dongeng Israiliyat itu, didengar oleh sahabat, lalu mereka salin, kemudian disalin lagi oleh Tabi'in. Kadang-kadang mereka salin dengan tidak memakai komentar, hanya
semata-mata untuk bahan saja bagi kita yang datang di belakang," tulis Buya Hamka.

Maka, menurut Buya Hamka, terhadap bagian ayat-ayat tentang kisah-kisah ini "penafsir hendaklah berhati-hati. Tidaklah mengapa kalau suatu riwayat yang bukan shahih dari Nabi ditinggalkan saja, dan tidaklah mengapa kalau dibatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal, dan tidak diperdulikan kalau tidak sesuai samasekali dengan maksud al-Quran." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm 29).

Baca Juga: Hukum Menerjemahkan Al Quran ke Bahasa Lain di Luar Bahasa Arab Menurut Buya Hamka

Hal ini, menurut Buya Yahya, penting dilakukan "untuk memberantas pengaruh tafsir-tafsir yang telah beredar dalam masyarakat kita, yang dijadikan alat untuk mengasyikkan orang mendengar tabligh oleh setengah guru-guru yang tidak bertanggungjawab." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm 29).

Lalu mengapa orang-orang sekelas sahabat-sahabat Rasulullah atau para Tabi'in kemudian menyalin juga riwayat yang demikian, dengan tidak ada pertimbangan mereka sendiri atas benar dan tidaknya?

Hal itu "karena Rasulullah SAW pernah memesankan, bahwa kalau mereka mendengar kisah dari ahlul-kitab itu, dengarkan saja, jangan diakui kebenarannya dan jangan pula segera didustakan." (Tafsir Al Azhar, jilid 1, hlm 29, dan tertera juga dalam Hadits Al Bukhari).

Itulah sekilas tentang dasar menafsirkan Al Quran menurut Buya Hamka dalam karyanya, Tafsir Al Azhar. Semoga ulasan ini bermanfaat bagi kita semua. Wallaahu A'lam.***

Editor: Galih R

Sumber: Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka

Tags

Terkini

Terpopuler