PRIANGANTIMURNEWS - Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengatakan Indonesia hanya menikmati keuntungan nilai tambah sebesar 10 persen dari industri biji nikel di Morowali dan Konawe.
"Sedangkan keuntungan industri biji Nikel sisanya sebesar 90 persen menjadi keuntungan bagi investor China yang membangun smelter di kawasan industri tersebut," kata Faisal dikutip priangantimurnews.pikiran-rakyat.com dari Instagram @j_gatotnurmantyo Jumat 30 Juli 2021.
Menurut Faisal, dari seluruh nilai yang diciptakan, dan diproses olah biji Nikel sampai produk smelter, maksimal yang tinggal di Indonesia 10 persen.
Baca Juga: Mengenal Akar Wangi, Mulai Tanam hingga Proses Pengolahan Jadi Bahan Baku Parfum
"Jadi 90 persen dinikmati China. Indonesia hanya dijadikan ekstensi untuk dukung industrialiasi China,” kata, Faisal dalam tayangan YouTube milik pengamat politik, Refly Harun.
Ia menyebutkan, pengembangan industri biji Nikel di kawasan ekonomi khusus Morowali dan Konawe sampai saat ini belum memenuhi hilirisasi.
"Sebab, tidak ada fasilitas produksi untuk mengolah biji Nikel menjadi hidroksida dan Nikel murni berkadar 99,9 persen yang menjadi bahan utama penghasil beterai," kata, Faisal.
Penjelasan biji nikel dari mineral oksida (laterit) ada dua jenis yang umumnya ditemui yaitu saprolit dan limonit dengan berbagai variasi kadar.
Baca Juga: 'Kenangan Terindah' Single Terakhir Setia Band Bersama Trinity
Perbedaan menonjol dari 2 jenis biji ini adalah kandungan besi dan magnesium.
Biji saprolit mempunyai kandungan besi rendah dan magnesium tinggi sedangkan limonit sebaliknya.***