Fenomena 'Victim Blaming' dalam Kasus Eksploitasi Perempuan di Indonesia

16 Januari 2024, 11:00 WIB
Ilustrasi Victim Blaming yang dilakukan oleh sesama perempuan yang identik memiliki nurani yang sama dengan korban/orami /

PRIANGANTIMURNEWS - Kehidupan suatu bangsa tidak lepas dari pondasi akhlak warga negaranya. Akhlak dalam Islam merupakan bagian dari ajaran Rasulullah SAW.

Baginda Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT kedunia juga dalam misi menyempurnakan akhlak manusia. Salah satu hadist yang menerangkan hal tersebut yakni hadist yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi yang berbunyi:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ

Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi).

Baca Juga: Penyebab Seseorang Melakukan Playing Victim dan 4 Tips untuk Berkomunikasi dengan Pelaku

Pondasi akhlak memang sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Suatu bangsa akan kuat jika akhlaknya masyarakatnya juga kuat.

Dalam masyarakat Indonesia salah satu upaya orang tua menanamkan akhlak kepada anak-anaknya yakni dengan memasukan anak-anak mereka ke Lembaga Keagamaan.

Tetapi Lembaga Keagamaan yang dianggap sebagai ruang yang 'aman' dan tempat penggemblengan nilai-nilai agama,pada kenyataannya tidak lepas dari praktik oknum di Lembaga Keagamaan tersebut yang justru melenceng dari akhlak yang baik.

Baca Juga: 15 Tanda Playing Victim, Siapa Tahu Kamu Mengalaminya

Salah satu contoh,di Indonesia tidak jarang terjadi kekerasan atau eksploitasi seksual baik terhadap anak atau perempuan pada umumnya.

Dilansir dari halaman Fisip Universitas Indonesia,banyak kasus eksploitasi terhadap perempuan Indonesia terjadi di Lembaga berbasis agama ini.

Kasus eksploitasi perempuan di institusi keagamaan cenderung oknum  pelaku eksploitasi tersebut berasal dari tokoh yang memilik kekuasaan lebih diatas korbannya.

Baca Juga: Nasib 75 Pegawai KPK, Politikus PDIP sebut Novel Baswedan Playing Victim

Posisi kuasa lebih tinggi dalam satu institusi akan menciptakan ruang dominan 'hasrat seksual' kepada korbannya yang lemah.

Banyak kasus eksploitasi perempuan dari oknum di  Lembaga Keagamaan tidak terungkap. Lelaki hidung belang yang berposisi oknum pelaku yang identik dengan pemuka agama. Dalam masyarakat,posisi ini melekat bahwa oknum pemuka agama adalah pribadi yang baik dan jauh dari hal-hal tercela.

Status sebagai oknum tokoh agama yang mempunyai ilmu agama mumpuni membuat pelaku dihormati dan disegani. Akibatnya, perempuan yang menjadi korban dari eksploitasi seksual tersebut tak jarang oleh pihak tertentu malah menjadi pihak yang disalahkan.

Baca Juga: Sadis! Begini Kronologi dan Motif Pelaku Pembunuhan Seorang Perempuan Muda di Pagerageung Tasikmalaya

Dari fenomena tersebut,munculah istilah 'Victim Blaming'. Maksud dari 'Victim Blaming' adalah korban yang akhirnya disalahkan dari suatu kasus kejahatan.

Fenomena 'victim blaming' sebenarnya merupakan reaksi yang umum terjadi di masyarakat. Reaksi ini bisa terjadi baik disengaja ataupun tidak disengaja.

Kebanyakan orang mungkin berpikir bahwa siapapun bisa mengalami hal-hal buruk. Tetapi ketika hal buruk tersebut menimpa seseorang, beberapa pihak mengambil langkah yang cenderung menyalahkan korban.

Baca Juga: Jadi Kurir Narkoba, Dia Perempuan Ditangkap Polisi di perempatan Pancoran, 413 Gram Sabu Diamankan

Dalam kasus eksploitasi seksual, ujung-ujungnya pihak perempuan-lah yang benar-benar menjadi korban. Lelaki yang menjadi pelaku berdalih bahwa tindakannya adalah berdasarkan suka sama suka.

Mirisnya lagi 'victim blaming' kerap kali dilakukan oleh sesama perempuan yang identik memiliki nurani yang sama dengan korban. Tetapi justru mereka cenderung menyalahkan sesama kaumnya. Victim blaming' yang dilakukan oleh sesama perempuan, membuat pelaku berada 'diatas angin'.

Pelaku akan bermanifulatif untuk tidak disalahkan dalam tindakan yang telah dilakukannya. Fenomena victim blaming jelas merupakan kontribusi nyata terhadap suatu tindakan terjadinya tindakan a susila. Victim blaming 'seolah-olah' dijadikan budaya suatu tindakan a susila bisa ditoleransi.

Baca Juga: Peneliti Ungkap Kekerasan Seksual dan Ancaman Pada Konsumen Perempuan di Ranah Pinjol

Salah satu contoh 'victim blaming' yang kerap terdengar di masyarakat jika terjadi kasus eksploitasi seks terhadap perempuan adalah muncul kata-kata: 'seekor kucing jika diberi ikan asin pasti akan dimakan'. Contoh lainnya ada kata-kata yang seolah-olah membela korban tetapi sebetulnya justru menyalahkan korban.

'Seandainya kamu tidak anu,tidak anu pasti tidak akan terjadi'. 

'Kamu sih terlalu memberi perhatian lebih kepada dia (pelaku)'

Kata-kata tersebut adalah kata-kata yang sering muncul di masyarakat dan sudah dianggap kata-kata normatif.

Baca Juga: Dua Perempuan Ibu dan Anak Ditangkap Satnarkoba Polrestabes Bandung, Edarkan Ekstasi

Selain itu, fenomena victim blaming di Indonesia sangat dipengaruhi oleh budaya 'patriarki'. Budaya ini menganggap hubungan tidak setara antara laki-laki dan perempuan.

Dalam budaya ini posisi laki-laki di klaim lebih dominan dan lebih berpengaruh daripada perempuan. Efek dari budaya ini menimbulkan laki-laki lebih menuntut rasa hormat dan kepatuhan dari perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.

Sikap victim blaming di masyarakat Indonesia membuat korban mengalami penderitaan ganda: telah di eksploitasi dan kemudian disalahkan! Disadari atau tidak,sikap victim blaming secara tidak langsung akan membangun masyarakat yang mengabaikan hak dan keamanan perempuan.

Baca Juga: Jadi Viral Karena Marselino Ferdinan! Perempuan Cantik Kamboja OTW Indonesia! Benarkah?

Ironisnya lagi mayoritas pelaku victim blaming adalah perempuan juga. Sementara pelaku akan terus tebar pesona dan mencari perempuan-perempuan lainnya untuk melakukan aksi tak senonoh berikutnya.

Fenomena victim blaming (menyalahkan korban) akan terus bergulir sebelum mereka disadarkan oleh salah satu anggota keluarganya mengalami hal serupa dengan korban eksploitasi.***

Editor: Sri Hastuti

Sumber: Fisip Universitas Indonesia

Tags

Terkini

Terpopuler