UU Omnibuslaw Berlaku, Rakyat Punya Kewajiban Mengawasi dan Mengkritisi Penerapannya

31 Oktober 2020, 16:59 WIB
Pengamat kebijakan publik Eman Sulaeman Nasim /Satrio Widianto/PR/

 PRIANGANTIMURNEWS - Niat awal Presiden Joko Widodo membentuk Undang-Undang (UU) sapu jagat atau Omnibus Law yang kemudian disebut UU Cipta Kerja adalah baik.

Yakni, menarik investasi sebanyak-banyaknya ke dalam negeri, membuka lapangan pekerjaan seluas -luasnya, sekaligus menyederhanakan proses perizinan untuk segala bidang. 

Akan tetapi, dalam perjalanannnya,  UU Cipta Kerja tersebut dibuat tergesa gesa, hanya 8 bulan 14 hari, serta melibatkan beberapa orang pengusaha dan pejabat negara.

Baca Juga: Menhub Budi Karya Sumadi Dengar Aspirasi Nelayan Patimban di Atas Perahu

Tata cara  pembuatannya tidak transparan juga menyalahi prosedur pembuatan UU. Proses pembahasannya juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas dan tidak melalui kajian akademis. 

UU  tersebut akhirnya memunculkan kekhawatiran dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Muncul penolakan-penolakan terutama dari kalangan mahasiswa, buruh dan kalangan pemuka agama serta cendekiawan di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Bila Presiden tidak mencabut atau tidak mengeluarkan Perpu sebagai pengganti UU Cipta Kerja, maka seluruh rakyat mempunyai kewajiban untuk mengawasi dan mengkritisi penerapannya, sehingga tidak merugikan bangsa dan negara Indonesia.

Baca Juga: Gerakan Pemuda Islam Jawa Barat Sepakat Boikot Produk Negara Penghina Nabi

Hal tersebut disampaikan pengamat kebijakan publik Eman Sulaeman Nasim, Ketika membacakan kesimpulan Webinar yang bertema “Antisipasi Penandatanganan UU Cipta Kerja: Alternatif Solusi”, Webinar diselenggarakan oleh Forum Perguruan Tinggi seluruh Indonesia (FAPI). 

Dikatakan Eman, mereka yang menolak UU Cipta Kerja jangan distreotipkan atau disebut anti pemerintah. "Sebagai alumni perguruan tinggi, kita harus profesional dan bersikap objektif dalam memandang permasalahan negara khususnya politik di negeri kita."


Eman menyebutkan, masyarakat yang menolak UU Cipta kerja atau omnibuslaw, adalah mereka yang punya perhatian lebih besar terhadap masa depan bangsa dan negara kita. 

"Jangan sampai negara yang kita cintai, hasil perjuangan nenek moyang kita, merebut dari tangan para penjajah dengan mengorbankan harta dan nyawa justru jatuh ke tangan pengusaha pengusaha asing. Lapangan pekerjaannya justru banyak diisi oleh tenaga kerja asing," ujarnya. 

Baca Juga: Kampung Cidarma Sumedang Dicanangkan Jadi Kampung Gula Aren

Sesuai pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, lanjut Eman, negara Indonesia ini sudah seharusnya diperuntukkan sebesar besarnya untuk kesejahtera rakyat dan bangsa Indonesia. Bukan untuk investor dan tenaga kerja asing,” papar Eman yang juga Wakil Ketua Umum FAPI.


Harus Kritis

Ketua Umum FAPI Ahmad Syarbini mengajak seluruh alumni perguruan tinggi, untuk tidak tinggal diam dan harus bersikap kritis atas pengesahan UU CK oleh DPR RI pada 5 Oktober lalu. Draft Rancangan UU nya berasal dari pemerintah.

UU CK  akan berdampak negatif bagi tenaga kerja Indonesia. Sebab dalam salah satu pasalnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, UU CK mempersilahkan tenaga kerja asing masuk dan menduduki hampir seluruh lapangan pekerjaan yang ada di Indonesia, menghilangkan hak cuti haid, dan pemotongan hak hak pegawai lainnya. 


“UU Cipta kerja ini disusun terlalu terburu buru. Dalam proses pembuatannya tidak memenuhi syarat formil maupun materil sebagaimana seharusnya sebuah undang undang itu dibuat. UU ini lebih banyak mengakomodasikan kepentingan investor.  Saat ini kita tidak memerlukan UU Omnibuslaw atau Cipta Kerja. Yang kita butuhkan saat ini adalah upaya serius dari pemerintah dalam mengatasi musibah dunia, pendemic Covid-19 serta penegakkan hukum,” tegas Ahmad Syarbini.

Baca Juga: Dosen Unsil Turun Gunung Dorong Geliat Ekonomi Warga

Pakar hukum Heru Susetyo senada  dengan yang disampaikan Ahmad Syarbini. Menurut Doktor hukum lulusan Mahidol University, Thailand ini, secara prosedur, UU ini bermasalah karena tidak melewati kajian akademis dan diskusi publik sehingga tidak menampung dan mendengarkan pendapat  dan aspirasi masyarakat. 


Secara materil dan metodologi, bermasalah  karena menggabungkan UU yang baru dengan yang lama dan menyenggol terlalu banyak wilayah. 


“Menurut saya UU ini dibuat secara brutal, hanya dalam waktu 8 bulan 14 hari. Tanpa melalui proses kajian akademis.  Dibahas secara misterius. Menggunakan sistem petak umpet. Dibahas dari hotel satu ke hotel yang lain  di masa pendemik Covid-19,” tegas Heru Susetyo.

Baca Juga: Batu Sebesar Kerbau Bekas Galian di Atas Pemukiman Meresahkan Warga

Heru menjelaskan, UU ini disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober lalu. Setelah disahkan pun, oleh pemerintah masih dilakukan revisi. Padahal seharusnya, setelah disahkan oleh DPR RI, tidak lagi ada revisi sepihak. Sementara jumlah halamannya juga berubah rubah. 

Ditandatangani atau tidak ditandangani, disetujui atau tidak disetujui Presiden, meskipun ditentang dan ditolak oleh Sebagian besar masyarakat di seluruh Indonesia, jika Presiden tidak ,menerbitkan Perarturan pengganti Undang undang (Perpu) atau menarik UU tsb, maka  UU Omnibuslaw atau UU Cipta Kerja ini akan berlaku dan sah menjadi UU 30 hari sejak disahkan atau disetujui DPR RI. Dengan demikian, UU ini akan berlaku mengikat seluruh warga negara dan siapapun yang ada di negara ini mulai 4 Nopember yang akan datang. 

Lalu apa yang dapat dilakukan masyarakat yang menolak UU Cipta kerja ini, jika sampai 4 Nopember 2020 mendatang, Presiden tidak juga menunda atau mengeluarkan Perppu? Menurut anggota Komisi I DRD DKI Jakarta ini masyarakat atau rakyat Indonesia memiliki 6 piliihan cara yang konstitusional. 

Baca Juga: Alami Peningkatan Signifikan, Pengusaha Hotel Harapkan Libur Panjang Jadi Moment Kebangkitan

“Pertama, mendesak DPR RI melakukan legislative review. Minta DPRT untuk mengkaji kembali UU ini. Namun saya pesimis jika DPR RI mau melakukan Langkah ini. Sebab, hanya 2 fraksi yang menolak pengesahan UU Cipta kerja. Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilam Sejahtera. Mereka tidak mungkin mereview atas apa yang telah mereka lakukan,” papar Heru Susetyo.

Cara kedua adalah meminta DPR RI melakukan amandemen  yakni mencabut atau merubah keseluruhan atau Sebagian dari pasal pasal UU CK. Sedangkan cara yang ketiga adalah mengawal peraturan peraturan yang menjkadi turunan dari UU CK berupa, peraturan pemerintah  (PP) . Mengingat UU ini melewati banyak wilayah dan mengganti banyak UU yang sudah ada, maka diperlukan 33 PP. 

Dua cara ini pun bagi Heru Susetyo pesimis bisa dilakukan oleh DPR RI maupun pemerintah dan masyarakat. Mengingat masih banyak UU di luar UU CK yang sudah lama disahkan namun belum memiliki PP. 

Baca Juga: Menteri Perhubungan Cek Kesiapan Pembukaan Pelabuhan Patimban

“Jika PP ditargetkan sebelum Presiden Jokowi turun dari kekuasaannya, maka pembuatan 33 PP ini membuat menteri menteri terkait, tergopoh-gopoh membuat PP. Dan pembuatan PP ini berarti akan dikebut juga karena harus kejar tayamg. Otomatis, akan minim partisipasi publik dan kecil kemungkinan meminta pendapat masyarakat. Saya yakin pemerintah tidak akan meminta pendapat masyarakat secara umum. Partisipasi masyarakat pasti dikesampingkan,” papar Ketua pusat kajian Islam dan hukum Islam FHUI ini.

Cara yang ke empat yang dapat dilakukan masyarakat yang menolak UU CK adalah dengan terus mengawasi dan mengkritisi penerapan dari UU CK. Sehingga pasal pasal yang membahayakan dan merugikan masyarakat tidak merugikan masyarakat bangsa dan negara. Sedangkan cara konstitusional yang ke lima adalah mengajukan uji materil  dan formil  ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Namun cara ini pun saya  tetap pesimistis. Sebab, hakim MK itu ada 9 orang . 3 hakim diusulkan oleh DPR RI. 3 hakim diusulkan oleh pemerintah. Sisanya dari Mahkamah Agung. Meskipun Hakim MK harusnya berisfta netral dan objektif, rasanya, mereka tidak akan mengeluarkan kebijakan yang bertentangan dengan lembaga yang mengusulkannya. DPR RI dan pemerintah jelas mereka yang mengusulkan dan mengesahkan UU omnibuslaw. Tidak mungkin hakim MK yang diusulkan DPR RI dan Pemerintah akan membuat keputusan yang bertentangan dengan lembaga yang mengusulkannya,” papar  manajer riset dan publikasi FHUI. 


Sementara cara yang ke enam adalah dengan terus mendesak Presiden untuk segera mengeluarkan Perpu pengganti UU omnibuslaw. Meskipun presiden Jokowi sendiri berulang kali menyampaikan tidak akan mengeluarkan Perpu untuk membatalkan atau mengganti UU CK.

 

Baca Juga: Petani Mengeluh, Pasokan Pupuk Bersubsidi Minim
Sedangkan, pembicara lainnya masing-masing Indra Lesmana dari Universitas Andalas menyampaikan, sebaiknya masyarakat melakukan  mosi tidak percaya kepada DPR RI dan pemerintah karena telah mengeluarkan UU yang merugikan bangsa Indonesia. Mosi tidak percaya dapat disampaikan dan dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). Sehingga pada akhirnya bisa melakukan pemilu yang dipercepat.


Sementara pembicara wakil dari alumni Universitas Brawijaya Malang, Utari Sulistiowati berpendapat, sebaiknya para tokoh dan guru bangsa berkumpul menemui Preisden Jokowi dan para Menko dan Ketua DPR RI, agar menari UU CK tersebut. Karena UU tersebut mengkhawatirkan dan membahayakan kelangsungan negara dan bangsa jangka pendek dan jangka Panjang.


Ketua Dewan Pertimbangan FAPI Dodi Haryadi UU CK menimbulkan kecemasan sosial. Dia mengkhawatirkan, apabila presiden tidak mengeluarkan Perpu pengganti UU CK dan otomatis UU CK berlaku mulai 4 Nopember 2020 akan menimbulkan gelombang  protest dari masyarakat yang semakin besar.  Bila ini yang terjadi, tujuan UU CK dibuat menarik investor akan gagal. Investor malah akan ketakutan.


“Semua bisa kita lakukan, asalkan dalam koridor hukum. Tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di negara kita. Soal hasil kita serahkan pada Allah SWT,” timpal Heru Susetyo, menanggapi usulan dari dua pembicara lainnya.***

Satrio Widianto/pikiran rakyat

 

 

 

Editor: Ahmad Ramadan

Tags

Terkini

Terpopuler