MENGEJUTKAN!! Ternyata Ada Rahasia Kemerdekaan Indonesia Dalam Kitab Kuno Ini !!

- 14 Agustus 2022, 14:26 WIB
Ilustrasi Kunci Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia
Ilustrasi Kunci Sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia /Tangkapan Layar Youtube ASISI Channel/

PRIANGANTIMURNEWS - Siapa sangka, kunci kemerdekaan Indonesia ada dalam sebuah kitab kuno dari zaman Majapahit?

Pada tahun 1945, Perang Dunia II berujung kemenangan Sekutu dan kekalahan Jepang di Asia Pasifik. 3 bulan sebelum bom atom Hiroshima, BPUPKI, panitia persiapan kemerdekaan Indonesia terbentuk.

Mereka berkejaran dengan waktu, karena Belanda yang membonceng Sekutu dapat merebut kembali nusantara jika wilayah ini dianggap pampasan perang dari Jepang.

Tak ada jalan lain: Indonesia harus segera berdaulat. Namun, menyusun konsep negara sebesar dan seberagam Indonesia, tidaklah mudah.

Untungnya, kitab Sutasoma dari abad ke-14, memberi kita semboyan "Bhinneka Tunggal Ika", sekaligus kunci keberhasilan kemerdekaan kita.

Baca Juga: Berita Persib: Teddy Cahyono Takut Hadapi Bobotoh? Penjulan Tiket Menjadi Kendala Bobotoh!!

Dan kisah di dalamnya begitu epik, sayangnya gak banyak yang tahu. Yuk, kita gali bersama-sama. Dunia dilanda kekacauan ketika bangsa raksasa menebar petaka.

Dalam Kakawin Sutasoma, biang keroknya adalah Suciloma, seorang raksasa pemuja Siwa Bhairawa. Untuk mengalahkannya, sang Buddha pun menjelma ke dunia. Karena welas asih sang Buddha, Suciloma diampuni asal ia tidak lagi membunuh manusia.

Di sisa umurnya, Suciloma hidup saleh. Ia terlahir kembali menjadi Sudanda, pangeran kerajaan Ratnakanda yang bertekun memuja Buddha.

Suatu hari, muncullah Dewa Rudra yang menganugerahinya kesaktian luar biasa, bahkan menjadikannya manifestasi Dewa Rudra alias Dewa Siwa di dunia.

Merasa tak terkalahkan, watak angkaranya pun muncul. Suatu ketika, hidangan untuk Sudanda ludes dilahap anjing, dan sebagai gantinya, sang juru masak menyajikan daging manusia.

Baca Juga: Era Baru Persib! Ternyat Persib Jalin Komunikasi Dengan Pelatih Korea Selatan Ini, Waspadai Diving PSIS!!

Sejak itu Sudanda kecanduan daging manusia dan berubah menjadi raksasa. Seisi kerajaan mengusirnya karena takut. Raja Sudanda mengungsi ke lereng Semeru dan memuja Bhairawa, dengan ritual makan daging manusia.

Ia semakin kuat, hingga menjadi raja para raksasa dan ashura. Setelah itu, kerajaan Ratnakanda direbutnya kembali, dan namanya menjadi Purusada, atau pelahap manusia.

Kahyangan diserang dan para dewa gentar. Berbagai negeri pun dihancurkan karena ambisinya menumbalkan 100 raja bagi dewa pujaannya, sang Dewa Kala.

Siapakah yang mampu menghadapinya? LAHIRNYA PENYELAMAT DUNIA Karena kasihnya kepada dunia yang di ambang binasa, Bodhisatwa menjadi manusia dan terlahir sebagai pangeran tampan dari Hastina, yang bernama Sutasoma.

Kehidupan Sutasoma bergelimang kemewahan dan nikmat duniawi. Namun, meski berulang-kali dibujuk menjadi raja, Sutasoma bersikukuh untuk menguak dan menjalani takdirnya sendiri.

 Baca Juga: KASUS SUBANG SEMAKIN PANAS: Yosep Akhirnya Angkat Bicara Tentang Saksi S Yang Ditangkap!??

Pada suatu malam, ia menyelinap ke luar istana dan mulai mengembara. Perjalanan spiritualnya dibuka dengan ritual tantra di kuburan dan berakhir di pertapaan Dewa Siwa, di puncak Gunung Semeru.

orang Jawa kuno juga kenal kuburan, ini buktinya, Dalam perjalanan itu, Sutasoma disergap Gajahmuka yang ganas, lalu seekor naga.

Namun, Sutasoma malah menjadikan keduanya murid. Ia juga bertemu harimau betina yang kelaparan dan hendak memakan anaknya sendiri.

Sutasoma yang jatuh iba, menyerahkan dirinya untuk dimakan harimau. Kematian Sutasoma membuat sang harimau trenyuh dan menyesal.

Beruntung muncullah Dewa Indra yang menghidupkan kembali Sutasoma. Dan, bersama dengan gajahmukha dan naga, harimau itu pun menjadi murid Sutasoma.

Baca Juga: Kasus Subang Terupdate: Pak Yosep Momohon Bantuan Ke Pak Jokowi Usut Tuntas, Dengan Semua Bukti Kuat Ini!!

Nah, apa yang terjadi selanjutnya? SUTASOMA MENCAPAI KESADARAN Ketika bertapa di puncak Gunung Semeru, Sutasoma digoda para bidadari yang cantik jelita.

Bahkan Dewa Indra pun ikut menyamar menjadi bidadari, untuk menguji keteguhan hatinya. Namun upaya mereka gagal, karena Sutasoma menampakkan wujud aslinya sebagai Buddha Wairocana, Yang Maha Tinggi.

Para dewa pun menyembahnya. Dalam sekejap, Sutasoma kembali ke rupa manusia dan menyadari misinya. Eh, begitu turun gunung, Sutasoma bertemu dengan sepupunya, Raja Dasabahu.

Dengan riangnya Raja Dasabahu meminta Sutasoma menikahi adik perempuannya yang cantik, yakni Candrawati, karena keduanya sudah dijodohkan sejak kecil.

Aslinya, Dewi Candrawati adalah titisan Locana, pasangan Wairocana, sang Buddha tertinggi. Nah, perkawinan Sutasoma dan Candrawati di taman Ratnalaya, yang adalah manifestasi penyatuan energi maskulin-feminin,

Baca Juga: TIDAK BISA MENGELAK! Polri Bongkar Kecerobohan Dan Kesalahan Fatal Ferdy Sambo Dalam Kasus Brigadir J

juga dipahatkan pada relief Candi Jawi di Pasuruan, Jawa Timur, yang pernah kami bahas pada link di deskripsi Sementara Sutasoma mereguk manisnya pernikahan, kekuatan jahat yang dipimpin Purusada semakin mencengkeram dunia.

Purusada bahkan berhasil membunuh titisan Dewa Wisnu, yakni Raja Jayawikrama dari Kerajaan Singhala. Ia juga berhasil menawan 100 raja sebagai tumbal untuk Dewa Kala.

Namun, Dewa Kala rupanya tidak puas. Ia menuntut juga nyawa Sutasoma, yang telah bertahta sebagai raja Hastina. Maka terjadilah perang besar, ketika balatentara Purusada menggempur Hastina.

Hastina dan para sekutunya menahan serangan itu di bawah komando Dasabahu dari Kasi, sepupu Sutasoma. Tapi sesuatu membuat mereka terhenyak.

KEBAIKAN KALAH MELAWAN KEJAHATAN Dalam pertempuran akbar itu, Purusada berubah menjadi Dewa Rudra atau Dewa Siwa untuk menghadapi Raja Dasabahu, yang adalah putra Dewa Brahma.

Baca Juga: Prediksi Line Up Timnas Indonesia vs Myanmar Di Semifinal Piala AFF U16 2022 Malam Hari Ini

Dengan mudah Raja Dasabahu dikalahkannya dan dipenggal. Ingat, ya, tadi titisan Dewa Wisnu telah dibunuh Purasada. Sekarang putra Dewa Brahma pun ditumpasnya.

Saktinya gak kaleng-kaleng. Tewasnya Raja Dasabahu membuat prajurit Hastina kocar-kacir. Balatentara Purusada semakin merajalela.

Mereka membawa mahapralaya, atau kehancuran total atas dunia. Pada momen itulah, muncullah Sutasoma, tanpa tentara, hanya diiringi brahmana Siwa dan Buddha.

Artinya, seluruh tokoh agama mengesampingkan perbedaan dan bersatu menghadapi angkara. Purusada makin blingsatan. Dikerahkannya berbagai kesaktian untuk menyerang Sutasoma, di antaranya hujan api dan hunjaman senjata magis.

Namun, oleh Sutasoma, semua itu diubah menjadi taburan bunga, dan air amertha, yang menghidupkan kembali para korban.

Baca Juga: Jadwal Lengkap Timnas Indonesia Kualifikasi Piala Asia U22 2023, Indonesia Akan Bertemu Vietnam!!!

Gak pake lama, Purusada segera berubah menjadi Kalagnirudra, wujud Siwa yang paling mengerikan dan sanggup menelan tiga alam. Yang terjadi berikutnya akan mengejutkan Anda.

Senjata rahasia Bhineka Tunggal Ika Para dewa turun, memohon Dewa Siwa untuk menghentikan murkanya demi keselamatan dunia.

Mereka mengingatkan bahwa Sutasoma adalah Jelmaan Buddha. “Tidaklah mungkin kekuatan Siwa menghancurkan Buddha, karena pada hakikatnya keduanya sama”. “bahwa wujud Buddha dan Siwa memang berbeda.”

“Namun bagaimana bisa mengenali perbedaan dalam selintas pandang?” “Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama.” (Bhinneka Tunggal Ika). “Karena tiada kebenaran yang mendua.”

Sayangnya, nasihat para dewa gak mempan meredam amarah Kalagnirudra. Sutasoma pun mengerahkan kesaktiannya dan mengeluarkan senjata kristal yang menembus wujud Kalagnirudra.

Baca Juga: Keutamaan Surat Yusuf Ayat 4, Khasiat dan Tata Cara Amalan Hingga Muhasabah Cinta

Seketika sang Rudra dilingkupi kedamaian karena ia merasakan welas asih sang Buddha yang dialirkan Sutasoma. Kekuatan Rudra pun lenyap, dan Purusada kembali ke wujud aslinya.

Purusada gemetar, mengira Sutasoma akan menghukumnya. Namun, Sutasoma malah menyambutnya dengan tangan terbuka, tanpa syarat.

Sutasoma bahkan meminta para raja mengampuni Purusada. Sayangnya, mereka semua tak bisa lepas dari tuntutan Dewa Kala. Sutasoma pun menawarkan, untuk menebus hidup 100 raja dengan nyawanya sendiri.

Tekadnya jelas: dunia harus kembali damai. Maka Sutasoma menyerahkan dirinya kepada Dewa Kala, Dewa Kala berubah menjadi naga raksasa dan menelan Sutasoma.

Namun, saat melakukannya, ia merasakan kedamaian yang mengalir dari diri Sutasoma. Dewa Kala yang dibakar rasa bersalah, memuntahkan kembali Sutasoma.

Baca Juga: BURSA TRANSFER TERBARU: Witan ke AS Trencin, Egy Maulana Vikri ke FC Vion Zlate Moravce, Rabiot OTW MU

Dan seketika itu juga, ia diliputi damai sejahtera. Demikianlah Sutasoma berhasil menegakkan kedamaian di tiga alam, bukan dengan perang dan kekerasan, melainkan dengan jalan damai, pengorbanan, dan welas asih.

Para korban perang hidup kembali. Bahkan para raksasa, Raja Purusada, dan Dewa Kala pun menjadi biksu. Sedangkan Sutasoma dan permaisurinya, kembali ke entitas aslinya dan pulang ke alam Jinalaya.

berbagai fenomena dalam Kitab Sutasoma yang nyambung dengan masalah bangsa kita saat ini. Dan, apa saja sih yang diwariskan Majapahit bagi kemerdekaan Indonesia?

Ada banyak hal yang menarik dalam Kakawin Sutasoma. Uniknya, kisah Sutasoma bukanlah kisah baru, karena pernah dipahatkan di Candi Borobudur pada abad ke-9 M.

Mpu Tantular, yang menulis Kakawin Sutasoma pada zaman Majapahit pun mengaku, ia menyadur dari cerita terkenal berjudul Purusadasanta.

Nah, Kakawin Sutasoma ditutup dengan pujian bagi Rajasanagara, atau Raja Hayam Wuruk (1334 - 1389), menunjukkan bahwa Mpu Tantular adalah saksi mata langsung dari masa keemasan Majapahit.

Baca Juga: Info Kasus Subang Terkini: Menjelang Satu Tahun, Tak Terduga Begini Respon Danu!!

Meski Kakawin Sutasoma adalah karya sastra dan bukan catatan sejarah seperti Negarakertagama dan Pararaton, dalam kolofon atau catatan penulis di bagian akhir, Mpu Tantular menyebutkan Majapahit sebagai negara yang berdaulat.

Ini, menyiratkan adanya hukum. Ini, menyiratkan adanya aparatur pemerintahan dan pelayanan publik. Dan ini, menyiratkan adanya teritori, dan pertahanan terhadap wilayah kedaulatan.

Uniknya, teritori yang dimaksud mencakup darat dan laut. Ini laut ya, bukan sungai, karena dalam lontar dipakai kata sagara, yang berarti laut atau samudra. Cukup berdaulat ya, bahkan menurut standar modern.

Untuk rincian wilayah Majapahit, mandala terbesar di Asia Tenggara pada masanya, silakan cek tautan di atas atau di deskripsi.

Menurut Zoetmulder (1906 – 1995), pakar sastra jawa klasik, yang paling istimewa dari Kakawin Sutasoma, adalah adanya rekaman kehidupan beragama di masa Majapahit.

Baca Juga: Terbukti Kasus Subang: Segera Diungkap Pelakunya Dengan Semua Bukti? Begini Menurut Pakar Hukum

Jika Negarakertagama (1365) merinci berbagai agama dan aliran di Majapahit, Kitab Sutasoma adalah satu-satunya karya sastra yang menjelaskan terjadinya akulturasi antar agama mayoritas, yakni Siwa dan Buddha, juga adanya toleransi pada aliran minoritas.

Nah, uniknya, meski Majapahit tidak bermasalah dengan adanya perbedaan keyakinan, Mpu Tantular mampu memberi gambaran spekulatif seandainya intoleransi melanda Majapahit,

yakni dalam pupuh 137: 1-2, ketika para dewa belum menguak Bhinneka Tunggal Ika, terjadi 3 hal ini: pembunuhan dan penjarahan, perusakan rumah ibadah serta penistaan agama, serta pemerkosaan masal Anda merasa dejavu? Saya pun.

Tujuan Mpu Tantular jelas mengkontraskan situasi spekulatif itu dengan kondisi Majapahit yang sesungguhnya, yakni: Ada penegakan hukum, aparaturnya nggak korup, perlindungan teritori yang mantap, dan anti intoleransi.

Idaman banget, ya? Dan itu bukan utopia, apalagi khayalan, karena Majapahit benar-benar eksis didukung bukti bukti sejarah yang tak terbantahkan.

Baca Juga: Kasus Subang Paling Panas: Diduga 2 Sosok Wanita Yang Ternyata Keduanya Terekam CCTV Benarkah?Ini Faktanya

Nah, "bhineka tunggal ika" dari Majapahit, lalu diserap pendiri bangsa dan ditarik ke lingkup yang lebih luas, gak hanya sebatas agama, namun juga mewakili beragamnya suku, bahasa, dan kebudayaan di Indonesia.

Yang menarik juga, nih, Ir Soekarno memperkenalkan kata “suku” yang berarti kaki dalam bahasa Jawa, ibarat lipan yang badannya satu tapi punya banyak kaki atau suku.

Jadi, meski saya dan Anda berbeda dalam banyak hal, kita tetap satu, sebagai bangsa Indonesia. Nah, selain semboyan Bhinneka Tunggal Ika, ternyata Majapahit banyak menginspirasi kemerdekaan kita, lho.

Yuk, kita usut satu per satu. KONSEP NEGARA KEBANGSAAN Dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei tahun 1945, Mohammad Yamin (1903 – 1962) menyebut bahwa negara yang akan mereka bentuk sebenarnya adalah Indonesia ketiga.

Lho, kok bisa? Karena Indonesia pertama-nya adalah Sriwijaya, dan yang kedua adalah Majapahit.

Saat Ir Soekarno (1901 –1970) menggulirkan gagasan negara kebangsaan atau nationale staat, beliau pun menegaskan bahwa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah model yang hendak dicontohnya.

Baca Juga: Bursa Transfer Paling Hot: Kounde Resmi Ke Barca, Bellingham Diminati Liverpool, Messi Kembali Ke Barcelona!!

Tentu ini lebih luas ya, dari sekadar wilayah Hindia-Belanda, karena pada masa keemasannya, cakupan Majapahit membentang dari ujung utara Sumatra hingga Irian atau Papua.

Wilayah Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan budaya, namun semua diikat menjadi satu konsep bernama nusantara.

KESATUAN NUSANTARA YANG BERAGAM Nama Nusantara sudah tercatat sejak zaman Singhasari, salah satunya dalam prasasti Mula Malurung (1255 M).

Namun nama ini semakin populer di era Majapahit karena politik ekspansi yang digencarkannya. Mpu Prapanca kemudian mengabadikan wilayah-wilayah mandala Nusantara, dalam Kakawin Negarakertagama (1365 M).

Nama Nusantara kembali bergaung saat Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Pemuda 1928, mengusulkannya sebagai nama negara.

Baca Juga: Mengungkap Kasus Subang: Sudah 11 Bulan Lamanya, Kejanggalan Saksi Danu Baru terungkap?!!

Meski nama Indonesia yang terpilih, nusantara tetap dipertahankan untuk merujuk pada luasnya wilayah dan ragamnya budaya kita.

Jadi, sepaket dengan “Bhinneka Tunggal Ika”, kata “nusantara” dari zaman klasik ini, mengingatkan kita: keberagaman adalah kekuatan.

Dan, sampailah kita ke warisan berikutnya. SANG SAKA MERAH PUTIH Tahukah Anda, Majapahit juga mewariskan sang saka merah putih sebagai bendera kita.

Bukannya bendera kita tuh asalnya dari bendera Belanda yang disobek bagian birunya? Yaa bisa juga... Tapi, tanpa legitimasi dari sejarah Majapahit,

bendera kita mungkin ditolak di dunia internasional, karena terlalu mirip dengan Monaco, yang sudah menggunakannya sejak 1881.

Untungnya, Indonesia bisa membuktikan bahwa merah putih sudah digunakan lama di Nusantara, minimal sejak 1294 M, menurut prasasti Kudadu yang dikeluarkan Dyah Wijaya (berkuasa 1293 - 1309).

Baca Juga: Bukan Main!! Ini Profil Calon Lawan Timnas Indonesia Di FIFA Matchday 2022

Pada saat itu, merah putih memang sudah digunakan sebagai bendera, meski awalnya menjadi panji kerajaan Daha / Kadhiri yang memberontak terhadap Singasari.

Nah, tragedi epik di balik kemunculan pertama merah putih dalam sejarah kita, pernah kami bahas pada tautan di atas atau di deskripsi.

Selain bendera, lambang negara kita berakar pada Majapahit. GARUDA: BERJUANG UNTUK Merdeka Kisah Garuda yang membebaskan ibunya dari penjajahan para ular, banyak dipahatkan di candi-candi era Singhasari dan Majapahit. Misalnya Candi Kidal, Candi Sukuh, dan Candi Cetho, yang mengusung tema ruwat.

Kisah garuda mengusung spirit yang sama dengan para pahlawan yang berjuang membebaskan Indonesia dari penjajahan.

Maka ketika panitia PPKI bersidang pada 18 Agustus 1945 guna menyusun UUD 45 sebagai konstitusi Indonesia, mereka pun menetapkan garuda pancasila sebagai lambang negara kita.

Jadi, apa gunanya sih kemerdekaan Indonesia dikait-kaitkan dengan Sriwijaya dan Majapahit? Kita gak boleh lupa, berkat adanya Sriwijaya dan Majapahit,

Baca Juga: Timnas Indonesia Akan Melawan Negara Ranking 89, Ini Tanggapan Iwan Bule

para pendiri bangsa berhasil membuktikan kepada dunia, bahwa Indonesia bukanlah wilayah tak beradab yang ditemukan dan diberadabkan oleh Belanda sehingga berhak dikuasai para kolonis, seperti yang terjadi di Amerika dan Australia.

Justru, eksistensi Majapahit sebagai kerajaan berdaulat dalam kitab Sutasoma, menjadikan bangsa kita punya sejarah sebagai negara yang berdaulat.

Jadi, sebagai bangsa berdaulat yang dianeksasi dengan paksa oleh bangsa lain, Indonesia berhak menuntut dunia untuk mengakui kemerdekaannya.

Di sinilah pentingnya kita punya kesadaran sejarah. Majapahit, yang menjadi klimaks dari rangkaian sejarah klasik kita, adalah jangkar Indonesia pada kejayaan masa silam.

Namun, gak usah lagi kita mengharapkan bangkitnya kembali kejayaan Majapahit. Ia telah hadir di sini, saat ini, sebagai Indonesia.

Gak perlu juga kita mengganti ideologi dan dasar negara dengan yang lain, karena yang kita punya sudah yang terbaik.

Baca Juga: Tersangka Baru Terungkap!! Fakta Kebenaran Kasus Brigadir J Akhirnya Terbongkar, Irjen Ferdy Sambo Bohong?

Eksekusinya saja yang perlu dibenahi, dalam menegakkan hukum, memberantas korupsi, dan menghempaskan intoleransi.

Dan, seperti kata kitab Sutasoma, semua itu dimulai dari tindakan sederhana, yakni menghargai perbedaan, dan berwelas asih kepada sesama.

Agar Indonesia selalu menjadi tempat yang aman, nyaman, dan membanggakan, bagi kita, jiwa-jiwa merdeka, yang menyebutnya rumah.***

Editor: Galih Cipta Nugraha

Sumber: Youtube ASISI Channel


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x