Mengenal Sosok RA Kartini, Pahlawan Emansipasi Selamatkan Perempuan Indonesia

- 21 April 2024, 07:30 WIB
Ilustrasi foto RA Kartini
Ilustrasi foto RA Kartini /

Baca juga: Perjuangan Kartini bahan refleksi perempuan ikut dalam pembangunan RI

Dalam surat tersebut, Kartini menuliskan keresahannya yang mendambakan kebebasan sebagai seorang perempuan. Ia ingin bergerak untuk kebebasan dan kebahagiaan dirinya sendiri, tidak terkungkung dalam rutinitas domestik yang mewajibkan perempuan Jawa untuk tinggal di rumah pada saat itu dan tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Baca Juga: Jemaah Haji Indonesia Mulai Diberangkatkan 12 Mei 2024, Kemenag Sebut Dibagi Dua Gelombang
 

Pada surat pertamanya itu, ia juga membahas betapa dalam tradisi Jawa, perempuan, terlebih yang menyandang gelar bangsawan sepertinya, harus patuh terhadap aturan-aturan kerajaan yang sebenarnya ia tentang, termasuk bagaimana dirinya harus berjalan dengan posisi jongkok saat melewati kedua orang tuanya, hanya untuk memperlihatkan rasa hormat.

Ia juga mengeluhkan betapa komunikasi dengan saudara-saudaranya pun terbatas oleh aturan-aturan yang cukup mengekang, misalnya, adik-adiknya yang tak boleh sama sekali menyentuh kepalanya meski hanya untuk bercanda, karena dianggap tidak sopan dalam adat Jawa.

Sejak tahun 1889 hingga 1904, Kartini pun mulai aktif menulis. Surat-surat balasan dari teman-temannya yang telah merasakan indahnya menjadi perempuan di dunia modern, di saat Indonesia masih berperang melawan penjajahan, menyalakan api dalam dirinya untuk terus memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan Indonesia kala itu.

Dalam salah satu suratnya, ia juga menentang budaya poligami yang saat itu masih kental dilakukan di Jawa.

Baca Juga: Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis Ditelusuri Kejagung, Sebelum Empat Mobil Mewah Telah Disita

Sebagai korban poligami juga, di mana Kartini pada saat itu dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah memiliki tiga istri dan tujuh orang anak, ia merasa praktik pernikahan paksa tersebut perlu dihentikan, karena perempuan seharusnya boleh menentukan pilihan hidupnya sendiri, termasuk dalam memilih pasangan hidup.

Kartini juga sempat menulis surat kepada dua pasangan suami-istri yang merupakan sahabat penanya, Jacques Henrij (J.H) Abendanon dan Rosa Manuela Abendanon. Pada tahun 1900 hingga 1905, J.H. Abendanon menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (Indonesia).

Halaman:

Editor: Muh Romli


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah