Dalam sidang, Titi yang hadir secara luring menyebut, pilihan proporsional terbuka secara gradual tersebut dibatalkan MK melalui Putusan No.22-24/PUU-VI/2008.
MK menyebut setiap caleg mestinya dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.
“Sehingga persyaratan 30% BPP yang harus dipenuhi caleg untuk mendapat kursi dan kalau tidak maka akan kembali berdasar nomor urut, dipandang MK sebagai sesuatu yang menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif,” kata Titi.
Titi berharap, di masa depan sangat mungkin ada evaluasi ataupun modifikasi atas pilihan sistem pemilu. Jika MK mengunci pada satu pilihan sistem saja, hal itu akan berdampak pada kesulitan untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang.
Oleh karena itu, menurut Titi, bila menilik beberapa Putusan MK termutakhir, maka sudah sewajarnya jika MK menempatkan pengaturan soal sistem pemilu ini sebagai ranah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Akan tetapi, MK perlu memberikan rambu-rambu pada pembentuk undang-undang terkait asas dan prinsip dalam memilih sistem pemilu, sebagaimana yang dilakukan MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menyangkut pilihan model keserentakan pemilu.