Bagaimana Kronologi Perubahan Sistem Proporsional Tertutup jadi Terbuka? Ini Sejarah Singkatnya

- 1 Juni 2023, 11:30 WIB
Ilustrasi Pemilu - Pemilihan umum (Pemilu) terbuka diisukan diganti menjadi Pemilu tertutup. Mantan Presiden SBY menegaskan jika hal tersebut terjadi, hanya akan menimbulkan Chaos Politik
Ilustrasi Pemilu - Pemilihan umum (Pemilu) terbuka diisukan diganti menjadi Pemilu tertutup. Mantan Presiden SBY menegaskan jika hal tersebut terjadi, hanya akan menimbulkan Chaos Politik /

PRIANGANTIMURNEWS – Sistem Pemilu sejak awal  pemerintah sebenarnya menerapkan sistem proporaional tertutup.

 

Namun sistem proporsional tertutup yang diterapkan kala itu dinilai telah menghasilkan wakil-wakil yang lebih merepresentasikan kepentingan elit parpol dibandingkan kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Karena ada yang mengajukan gugatan, maka Mahkamah Konstitusi saat itu memutuskan sistem pemilu diubah jadi proporsional terbuka.

Baca Juga: MK Putuskan Pemilu Proporsional Tertutup? Anggota DPR Ancam Cabut Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Lantas bagaimana sejarah sistem pemilu di Indonesia? Berikut ini sejarah singkat perjalanan perubahan sistem pemilu di Indonesia.

Sebelum ke inti maslah mengapa diubah menjadi sistem proporsional terbuka, Yuuk kita kupas sedikit terlebih dulu sekelumit sejarah sistem pemilu dari awalnya.

Dikutip dari laman Humas Mahkamah Konstitusi, setelah pemilu 1999, pembentuk undang-undang memutuskan untuk mengubah sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list) untuk memilih anggota DPR dan DPRD sehingga pemilih bisa langsung mencoblos caleg pilihannya di surat suara.

Baca Juga: Pemilu 2024 tetap harus Sistem proporsional Terbuka, Anies: Ini Indikasi Kekuasaan di Tangan Rakyat.

Surat suara bukan hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg yang diusung partai.

 

Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU No. 12 Tahun 2003, hal itu masih dilakukan melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system).

Di mana caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut bilangan pembagi pemilih (BPP).

Demikian disampaikan oleh pegiat dan praktisi pemilu Titi Anggraini selaku ahli dalam sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar Senin (15/5/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

Baca Juga: SBY Ingatkan Penetapan UU Sistem Pemilu Bukan Ada di Tangan MK

Adapun agenda sidang kali ini yakni mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Derek Loupatty selaku Pihak Terkait pengujian UU Pemilu dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022.

Derek menghadirkan tiga orang ahli untuk didengar keterangannya dalam persidangan, yakni Titi Anggraini (pegiatan dan praktisi pemilu), Zainal Arifin Mochtar (Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta), dan Khairul Fahmi (Dosen Hukum Tata Negara dan Hukum Pemilihan Umum Fakultas Hukum Universitas Andalas).

 

Dalam sidang, Titi yang hadir secara luring menyebut, pilihan proporsional terbuka secara gradual tersebut dibatalkan MK melalui Putusan No.22-24/PUU-VI/2008.

MK menyebut setiap caleg mestinya dapat menjadi anggota legislatif pada semua tingkatan sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suara masing-masing.

“Sehingga persyaratan 30% BPP yang harus dipenuhi caleg untuk mendapat kursi dan kalau tidak maka akan kembali berdasar nomor urut, dipandang MK sebagai sesuatu yang menusuk rasa keadilan dan melanggar kedaulatan rakyat dalam artinya yang substantif,” kata Titi.

Baca Juga: PDIP Satu-satunya Partai Pendukung Pemilu 2024 dengan Sistem Tertutup, 8 Partai Lainnya Menolak, Ada Apa?

Titi berharap, di masa depan sangat mungkin ada evaluasi ataupun modifikasi atas pilihan sistem pemilu. Jika MK mengunci pada satu pilihan sistem saja, hal itu akan berdampak pada kesulitan untuk melakukan penyesuaian dan perbaikan pada pemilu-pemilu yang akan datang.

Oleh karena itu, menurut Titi, bila menilik beberapa Putusan MK termutakhir, maka sudah sewajarnya jika MK menempatkan pengaturan soal sistem pemilu ini sebagai ranah pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.

Akan tetapi, MK perlu memberikan rambu-rambu pada pembentuk undang-undang terkait asas dan prinsip dalam memilih sistem pemilu, sebagaimana yang dilakukan MK dalam Putusan No. 55/PUU-XVII/2019 menyangkut pilihan model keserentakan pemilu.

 

MK juga penting menegaskan dalam putusannya terkait konsistensi pilihan sistem pemilu terhadap berbagai variabel teknis yang menyertainya sehingga tidak menimbulkan ambiguitas dalam implementasinya.

Baca Juga: BPKN Hargai Putusan MK yang Tegaskan Tidak Boleh ada Penyitaan Unit Kendaran Jaminan Tanpa Proses Pengadilan

Misalnya saja, tidak relevannya penggunaan nomor urut dan opsi mencoblos partai pada sistem proporsional terbuka dengan popular vote (suara terbanyak murni).

Apabila masih diperbolehkan mencoblos tanda gambar partai maka partai menjadi wajar untuk diperbolehkan menentukan preferensi caleg pilihannya apabila partai memperoleh suara terbanyak.

Hal itu misalnya seperti di sistem pemilu Australia yang mengenal konsep below the line dan above the line.

 Below the line pemilih sepenuhnya memilih pemeringkatan caleg sesuai kehendaknya, sedangkan pada above the line pemilih memberikan otoritas pada caleg untuk menentukan caleg yang akan memperoleh suara. Tentu detail teknisnya harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang maupun Peraturan KPU.

Ke depannya, bila akan dilakukan peninjauan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang, maka mestilah dilakukan secara terbuka dan akuntabel dengan terlebih dahulu merumuskan secara jelas tujuan-tujuan pemilu yang hendak dicapai.

 

Harus dipastikan bahwa pilihan atas sistem pemilu adalah koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat.

Baca Juga: Pemilu 2024, PAN dan PPP Berpotensi tak Lolos Ambang Batas Parlemen

Selain itu, untuk mencegah kehadiran petualang politik oportunis atau caleg kutu loncat, apapun pilihan sistemnya mesti disertai syarat caleg harus berstatus kader partai selama kurun waktu tertentu. Misalnya, minimal tiga tahun sebelum pendaftaran caleg dilakukan.


Mengapa diubah sistem terbuka?

Sementara Khairul Fahmi dalam persidangan menjelaskan beberapa hal mengenai sejarah singkat terbentuknya sistem proporsional terbuka.

Pertama, awal mula dipilihnya sistem ini merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang.

“Jatuhnya pilihan pada sistem proporsional terbuka tidak dapat dilepaskan dari pengalaman pahit penerapan sistem proporsional tertutup selama pemilu-pemilu Orde Baru.

Sistem proporsional tertutup yang diterapkan kala itu dinilai telah menghasilkan wakil-wakil yang lebih merepresentasikan kepentingan elit parpol dibandingkan kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Baca Juga: Pemilu 2024, PAN dan PPP Berpotensi tak Lolos Ambang Batas Parlemen

Pengalaman buruk tersebut membawa para pembentuk undang-undang pada tahun 2003 untuk menjatuhkan pilihan kebijakannya pada sistem proporsional terbuka,” terangnya.

 

Kedua, sejak awal reformasi pembentuk undang-undang telah menyepakati sistem proporsional terbuka, bukan proporsional tertutup.

Perdebatan yang terjadi terkait pilihan sistem ini hanya pada varian yang hendak diterapkan, apakah dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan persentase angka BPP atau bukan.

Ketiga, MK lebih pada mengambil posisi untuk memperkuat dan mempertegas pilihan sistem proporsional terbuka tersebut dengan menghilangkan syarat perolehan BPP dalam penentuan calon terpilih.

Langkah tersebut diambil karena hal ini yang dinilai lebih sejalan dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip prosedural demokrasi yang dianut dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Baca Juga: Pemilu 2024, Anies Baswedan Ajak Para Pelawannya Jadi Relawan Teladan

Menurut Khairul, sistem proporsional terbuka telah dilegitimasi oleh MK melalui Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008.

Hingga saat ini, sama sekali tidak terdapat alasan konstitusional yang kuat bagi MK untuk mengubah pendiriannya.

 

Kalau pun misalnya MK hendak berubah pandangan dari apa yang sebelumnya telah dituangkan dalam putusan tersebut, menjadi tidak tepat pula jika MK mencoba membalikkan atau mengganti sistem proporsional terbuka dengan sistem proporsional tertutup.

Sebab, pilihan sistem proporsional terbuka tersebut pada awalnya merupakan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang, di mana MK lebih pada posisi menggeser variannya ke pendulum (varian) yang dinilai lebih sesuai dengan prinsip suara terbanyak sebagai salah satu prinsip demokrasi.

Artinya, MK bukan pada posisi mengganti satu sistem dengan sistem lainnya.***

 

Editor: Muh Romli

Sumber: mkri.id Humas MKRI


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x