Debt Collector Dilarang Rampas Kendaraan, Terkecuali Sesuai Aturan

12 Oktober 2022, 22:30 WIB
Informasi aturan Debt Collector atau DC dalam penagihan pinjaman, apakah boleh dengan kekerasan? Ini pasal dan penjelasan dari OJK. /Pexels.com/Karolina Grabowska

PRIANGANTIMURNEWS - Sikap terkesan arogansi tindakan Debt Collector dalam melakukan perampasan kendaraan yang bermasalah di jalanan kraf membuat gram masyarakat.

Meski tindakan yang dilakukan Debt Collector kepada targetnya berdasarkan data yang mereka pegang dan mereka dapat dari lising yang bersangkutan sudah benar.

Namun tindakan arogansi Debt Collector maen rampas kendaraan dijalanan tidak sesuai dengan prosedur yang sebenarnya tetap tidak boleh maen rampas sembarangan.

Baca Juga: OJK Mengeluarkan Aturan Debt Collector Dilarang Gunakan Tindakan Kekerasan saat Menagih Utang

"Debt Collector dilarang gunakan kekerasan dalam oenagihan utang konsumen."dikutip PRIANGANTIMURNEWS.pikiran-rakyat.com Rabu 12 September 2022.

Menurutnya, sobat OJK, kalian perlu tahu nih kalau debt collector dilarang menggunakan kekerasan dalam penagihan utang konsumen.

Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) pun wajib mencegah pihak ketiga yang bekerja untuk atau mewakili kepentingan PUJK dari perilaku yang berakibat merugikan konsumen.

Baca Juga: Breaking News! Lesti Kejora Mendapat Keadilan! Rizky Billar Resmi Jadi Tersangka Langsung Ditahan!?

Selain itu debt collector dilarang menggunakan kekerasan dalam penagihan utang konsumen.

Hal ini tercantum dalam Pasal 7 POJK Nomor 6/POJK.07/2022 tentang perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan.

Selain itu, dalam proses penagihan, pihak ketiga di bidang penagihan yang lebih dikenal dengan istilah debt collector diwajibkan membawa sejumlah dokumen.

Apa saja larangan bagi debt collector dan dokumen yang wajib dibawa dalam melakukan penagihan.

Kejadian penarikan kendaraan bermotor berupa mobil atau motor yang dilakukan secara paksa oleh debt collector.

Sementara aturan terkait dengan penarikan motor atau mobil yang menunggak pembayaran cicilannya.

Baca Juga: Untuk Diperiksa Kepolisian! Rizky Billar Kena Mental Ngumpet Dari Media!

Prosedur penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

UU no 42 Tahun 1999 tentang jaminan Fidusia. UU tersebut menerangkan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan.

Atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Dalam pasal 15 disebutkan bahwa dalam sertifikat jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

Sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.

Yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.

Berdasarkan ketentuan dalam UU Nomor 42 Tahun 1999 khususnya Pasal 15, terdapat perbedaan penafsiran terkait dengan proses eksekusi atau penarikan jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila kreditnya bermasalah.

Sebagian menafsirkan bahwa proses penarikan kendaraan bermotor harus lewat pengadilan, namun sebagian menganggap bahwa berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU maka dapat melakukan penarikan sendiri atau sepihak.

Hal inilah yang kemudian terjadi di masyarakat penarikan paksa kendaraan bermotor oleh debt collector.

Pada tahun 2019 keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dengan harapan terjadi keseragaman pemahaman terkait eksekusi jaminan fidusia pada umumnya dan khususnya penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah.

Baca Juga: Kehebohan Netizen Pangandaran di Pan Asia Hash 2022 Bentuk Disinformasi

Berdasarkan amanat, putusan dan mengadili.

1.Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian.

2.Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168.

Tambahan lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3889 sepanjang frasa kekuatan eksekutorial dan frasa sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.

Meski demikian tetap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji atau wanprestasi.

Debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

3.Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia.

Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, tambahan lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3889 sepanjang frasa cidera janji bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji.

4.Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia lembaran negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 168.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia.

Baca Juga: HPI Pangandaran Menyanggah Soal Tudingan Miring Tentang Event Pan Asia Hash 2022

Maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, ternyata praktik penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah masih terjadi perbedaan penafsiran dalam proses eksekusinya, sebagian berpendapat bahwa semakin jelas eksekusi atau penarikan wajib melalui pengadilan..

Sementara sebagian yang lain menganggap bahwa eksekusi atau penarikan boleh dilakukan langsung oleh pihak kreditur ataupun melalui debt collector sepanjang telah ada kesepakatan terkait cidera janji dan kesepakatan penyerahan jaminan fidusia atau kendaraannya.

Baca Juga: Inilah Profil dan Biodata Lengkap Rizky Billar, Aktor yang Terjerat Kasus KDRT pada Istrinya, Lesti Kejora

Berdasarkan informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa eksekusi atau penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah masih terdapat perbedaan pendapat terkait teknis pelaksanaannya walaupun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.

Namun ada hal-hal yang telah disepakti bahwa proses eksekusi atau penarikan kendaraan oleh debt collector harus dilengkapi dengan:

1.Adanya sertifikat fidusia

2.Surat kuasa atau surat tugas penarikan

3.Kartu sertifikat profesi

4.Kartu Identitas.

Semoga ini menjadi rujukan pengetahuan
bagi masyarakat yang sedang mengalami hal serupa.***

 

Editor: Muh Romli

Sumber: Instagram @ojkindonesia

Tags

Terkini

Terpopuler