Terjadi pula perebutan tanah-tanah serta perusakan aset negara yang saat itu dikuasai oleh Soeharto di beberapa daerah.
"Bersama warga, saya memasang drum-drum di tengah jalan. Di depan pertigaan SD Ibu Tien yang terletak ditanjakan menjelang Astana, kami memalang puluhan batang bambu ori berduri. Siapa yang melintas dengan berjalan kaki sekalipun tak bakal gampang menembusnya," tutur Soekirno.
Malam-malam pun terasa panjang. Orang-orang kampung dan desa, secara bersama-sama dengan pengurus, berjaga di sekitar makam.
Dari pesawat komunikasi HT, terdengar sandi misalnya "1000 kuda lumping" yang artinya ada seribu pengendara sepeda motor menuju dan bergerak mengarah ke Astana, atau "500 gerobak", artinya lima ratus pengendara mobil.
"Anehnya, tak pernah sekali pun mereka hendak melempari Astana dan merusak bangunan makam di sini," kata Soekirno.
Ia berkeyakinan arwah para leluhur Raja Mangkunegaran datang dan melindungi. Sebab, bagi orang Jawa, arwah leluhur diyakini masih bersemayam dan jika dalam situasi darurat, akan muncul dan melakukan perlindungan.
Apalagi leluhur mereka, yaitu Kanjeng Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegara I yang terkenal dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo atau Aji Panglimunannya.
Astana Giribangaun merupakan makam keturunan Kerajaan Mangkunegaran. Ternyata, makam itu memiliki daya mistis dalam sejarah perjalanannya.