PRIANGANTIMURNEWS - Gunung Anak Krakatau adalah salah satu gunung api paling aktif di Indonesia, yang memiliki potensi bencana Tsunami Vulkanik yang sulit diprediksi.
Gunung yang terletak di Selat Sunda, antara Pulau Sumatera dan Jawa terbentuk setelah letusan Ultra Plinian Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883.
Selat Sunda adalah perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 1000 meter. Menyebabkan Tsunami Vulkanik terjadi sangat cepat dan mengerikan ketika letusan tahun 1883 terjadi.
Pasca letusan dahsyat, pada tahun 28 Desember 1927, aktivitas vulkanik baru terdeteksi berada di pusat kaldera dengan kedalaman 188 meter.
Saat itulah Gunung Anak Krakatau lahir, didahului dengan erupsi jenis Surtseyan. Dimana Magma mengalami kontak langsung dengan air laut
Pertumbuhannya sangat cepat, hingga Februari 2023 tercatat Gunung Anak Krakatau sudah memiliki ketinggian 813 meter.
Gunung Api itu saat ini memiliki pola letusan tipe Continuous Strombolian. Dimana erupsi yang terjadi selalu memiliki pola waktu dan tenggang waktu yang hampir sama.
Baca Juga: Aktivitas Gunung Anak Krakatau Semakin Meningkat, Luncurkan Abu Vulkanik 3 KM Tertinggi Sejak 2018
Itu adalah alasan dibalik permukaannya yang terus meningkat dengan cepat tiap tahun.
Kronologi Tsunami Vulkanik 2018
Kecepatan tumbuhnya gunung anak krakatau dipengaruhi intensitas erupsi dan gerakan lempeng tektonik.
Pada tahun 2018 ketinggian Gunung Anak Krakatau berada di angka 318 meter.
Tapi pada 27 Desember, Indonesia dikejutkan dengan Tsunami Vulkanik yang tidak terprediksi oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).
Tsunami Vulkanik tersebut merenggut 437 korban jiwa, 14.059 korban luka-luka, dan 33.719 orang kehilangan tempat tinggal.
Penyebab dari Tsunami Vulkanik tersebut bukan karena letusan Ultra Plinian seperti tahun 1883.
Melainkan karena getaran erupsi Continuous Strombolian yang mengakibatkan keruntuhan tubuh Gunung Anak Krakatau di bagian selatan kawah.
Keruntuhan yang terjadi sangat massif, akibat berat yang tidak berimbang. Gunung api itu kehilang berat massa 50 persen. Ketinggiannya berubah menjadi 110 meter.
Sementara lebarnya yang semula 2000 meter, berubah menjadi 1000 meter karena. Massa berat yang jatuh ke laut berada di angka 0,2-0,3 kilometer per kubik.
Baca Juga: Gunung Anal Krakatau Erupsi, Lontaran Abu sampai Setinggi 600 Meter
Angka massa longsor tersebut, mampu menyebabkan korban hingga ratusan jiwa. Itu karena perairan krakatau yang dangkal dan Tsunami Vulkanik yang tidak terdeteksi.
Mengapa Bisa Tidak Terdeteksi?
Dr. Mirzam Abdurrahman menyebutkan bahwa ada empat kondisi dimana Tsunami Vulkanik dapat terjadi. Pertama, diakibatkan oleh keruntuhan kolom air akibat letusan gunung api.
Kedua, lahirnya kaldera akibat letusan gunung berapi sangat masif (tahun 1883). Ketiga, longsornya material vulkanik yang terjadi tahun 2018 di Gunung Anak Krakatau.
Empat, aliran piroklastik cepat dari lereng gunung saat letusan gunung berapi terjadi. Itu mendorong air laut, sehingga mengakibatkan gelombang kuat.
Kasus pertama dan kedua didahului oleh penurunan air laut, dan menghasilkan ketinggian gelombang ombak Tsunami Vulkanik yang luar biasa besarnya.
Baca Juga: Gunung Anak Krakatau Muntahan Lava Pijar, PVMBG: Tinggi Capai 350 Meter
Sementara kasus ketiga dan keempat tidak menghasilkan gelombang ombak Tsunami Vulkanik sebesar kasus pertama dan kedua.
Namun dapat menjadi lebih berbahaya karena tidak ada penurunan permukaan air laut. Sehingga sulit terdeteksi, dan masyarakat tidak siap siaga untuk itu.
Beberapa sumber bahkan menyebutkan Tsunami Vulkanik 2018 terjadi sangat mendadak. Tidak ada getaran dan gemuruh yang menandakan erupsi besar Gunung Anak Krakatau.
Beberapa sumber lain menyebutkan bahwa sebenarnya gempa erupsi terjadi beberapa saat, namun tidak begitu besar.
Sehingga Tsunami Vulkanik yang terjadi benar-benar diluar dugaan, dan bahkan masyarakat sekitar cukup kaget dengan Tsunami yang terjadi.
Baca Juga: Erupsi Kembali Terjadi di Gunung Anak Krakatau, Masyarakat Diminta Untuk Tidak Mendekatinya
Alasan tingginya Vulkanik Tsunami yang terjadi dapat dipengaruhi oleh Landslide Volume, Travel Time, dan Penggenangan Air
Pasca longsor Gunung Anak Krakatau, PVMBG kembali merekam pola letusan Surtseyan dibagian kawah yang longsor.
Elmo Juanara, Peneliti Muda Indonesia asal kampus Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), Ishikawa, Jepang. Menanggapi fenomena yang terjadi pada tahun 2018.
Baca Juga: Gunung Anak Krakatau Kembali Erupsi, Jauhi Aktifitas di Radius 5 Kilometer
"Peristiwa runtuhan sayap (flank collapse) dari Anak Krakatau pada Desember tahun 2018 dikarenakan gunung anak krakatau yang terus tumbuh dan terdapat ketidakseimbangan pada salah satu sisinya" ungkap Elmo.
"Sehingga ketika proses aktivitas erupsi terus berjalan, atau adanya getaran maka sisi yang tidak seimbang tersebut runtuh. Keruntuhan inilah yang menyebabkan tsunami yang tidak terdeteksi (silent tsunami)," ujarnya.***