Sebanyak 5,5 juta penduduk Afghanistan berada mengalami food insecurity, defisit neraca perdagangan yang mencapai sekitar 30% GDP, dan ketergantungan 80% pada dana bantuan luar negeri.
“Wajar kemudian Afghanistan dijuluki sebagai negara gagal,” katanya.
Baca Juga: Buat Penggemar Bola, Inilah 5 Film dan Dokumenter tentang Sepak Bola yang Wajib Anda Tonton
Rangking Gross domestic product (GDP) nya berada di papan bawah pada urutan 213 dari 228 negara, dan rangking utang publik di posisi 202 dari 228 negara.
“Sementara kredit sektor swasta hanya mencapai 3% dari GDP, namun belanja keamanan mencapai 28 % dari GDP pada 2019,” ujar Zulfikar.
China yang melihat dengan jeli peluang memanfaatkan mundurnya Amerika Serikat, segera “merapat” ke pihak Taliban.
Baca Juga: Masker Lidah Buaya untuk Kulit dan Rambut
Hal itu karena ambisi China yang ingin mewujudkan jalur One Belt One Road (OBOR)-nya melintasi Afghanistan via Asia Tengah, Eropa Timur dan Eropa Barat.
Dosen UII ini juga menyatakan bahwa Afghanistan mempunyai potensi cadangan logam (rare earth) bahan pembuat microchip dan teknologi mutahir lainnya, yang diperkirakan bernilai 1 triliun dolar AS.
“Hal lainnya, China juga ingin mengurangi potensi penyebaran jaringan teroris terkait muslim Uighur di Xinjiang.” katanya.
Menyinggung hubungan ekonomi Zulifkar menyatakan, Indonesia mendapat peluang ekonomi terbatas ke Afghanistan. Peringkat ke 127 negara tujuan ekspor Indonesia dengan total nilai ekspor sebesar 21,38 juta dolar AS pada 2020.
Meskipun kontribusi ekspor Indonesia ke Afghanistan hanya 163,19 miliar dolar AS, namun tren pertumbuhan ekspor cukup positif mencapai 2,91% pada 2016 sampai 2020.