Jenderal Soedirman Dapat Surat dari Sultan Yogyakarta, Inilah Perintahnya

23 Mei 2022, 10:27 WIB
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (kiri) saat menerima laporan Letkol Soeharto pada masa perang gerilya 1949 /Buku Soedirman seorang Panglima, Seorang Martir /

PRIANGANTIMURNEWS- Jenderal Soedirman menunjuk Letnan Kolonel Soeharto sebagai komandan lapangan serangan Umum 1 Maret 1949.


Penunjukkan itu menjadi kontroversi yang tak kunjung reda hingga puluhan tahun.

Sepucuk surat tiba di tangan Jenderal Soedirman awal Februari 1949. Saat itu, Panglima Besar tengah bergerlya di Pacitan, Jawa Timur.

Baca Juga: KASUS SUBANG TEBARU: Ada Saksi Bisa Menjadi Tersangka Pembunuhan Ibu dan Anak di Subang, Siapa Dia?

Pengirimnya orang yang sangat ia hormati yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Seorang kurir membawa surat itu, raja Yogya itu menyatakan dunia internasional harus mengetahui bahwa Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada.

Sultan memberi alasan, dalam empat bulan terakhir, sudah tiga kali TNI menggelar serangan umum ke tangsi-tangsi tentara Belanda di Yogyakarta. Namun peristiwa itu tak kunjung menyedot perhatian internasional.

Baca Juga: Maudy Ayunda Resmi Menikah, Intip Sosok Sang Suami Lulusan S2 University StanFord

Penyebabnya, kata Sultan, serangan dilakukan saat malam hari sehingga radio dibelahan dunia tidak menerima kabar ada perlawanan ini lantaran perbedaan zona waktu.

"Panglima setuju dan langsung membalas surat itu," kata Mayor Jenderal Purnawirawan Sukotjo Tjokroatmodjo, yang pada saat itu berpangkat letnan dua dan bertugas di Kesatuan Polisi Militer Kepresidenan Istana Negara Yogyakarta.

Menurut Sukotjo, begitu menerima surat dari Sultan pada Februari 1949, Jenderal Soedirman lalu mengirim balasan lewat kurir yang membawa surat tersebut. Sukotjo tahu soal ini karena temannya melihat kurir itu keluar dari keraton.

Baca Juga: Pemain Asal Filipina Mark Hartmann Batal Gabung ke Persib Bandung, Ini Alasannya!

Perihal surat tersebut juga diceritakan Sultan dalam biografinya, Takhta untuk Rakyat."Panglima sangat setuju dan meminta Sultan berkoordinasi dengan komandan TNI setempat," ujar Sukotjo.

Kala itu Jenderal Soedirman juga memanggil Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, yang ketika itu berada di markas gerilyawan di Pacitan. Hutagalung adalah perwira teritorial yang bertugas di Jawa Tengah dan dokter.

Ia ikut memeriksa kesehatan Jenderal Soedirman, yang terkena sakit paru-paru." Kamu kan orang pinter, kamu harus bantu bangun strategi serangan," demikian kata Soedirman kepada Hutagalung.

Sang Jenderal juga memanggil Panglima Divisi III, yang membawahi Pulau Jawa. Kolonel Bambang Sugeng, ke Pacitan.

Soedirman berdiskusi dengan Bambang dan Hutagalung. Akhirnya mereka sepakat menunjuk Soeharto menjadi komandan lapangan serangan umum besar-besaran.

Bambang menulis surat perintah kepada Soeharto untuk memimpin penyerangan, dan surat itu dibawanya ke Yogyakarta.

Baca Juga: Inilah Kumpulan Nama Bayi Laki-Laki Islami, Awalan Huruf B Yang Penuh Makna

Pada akhir Februari, Soeharto, Bambang, Hutagalung dan Simatupang bertemu di pematang sawah di Desa Brosot, Yogyakarta, membicarakan rencana serangan tersebut.

Adapun Sultan, yang sudah menerima surat balasan dari Soedirman, pada 14 Februari 1949 sekitar pukul 23.00 memanggil Soeharto ke Keraton. Soeharto datang dengan cara menyamar, memakai pakaian biasa.

Dari kejauhan, jumlah anak buahnya mengawasi. Sultan dan Soeharto bertemu empat mata membahas strategi serangan umum di wilayah Yogyakarta, Belanda kala itu menerapkan jam malam. Mereka yang berkeliaran tak jelas ditangkap bahkan bisa ditembak.

Baca Juga: Kasus Subang Memanas: Danu Ungkap Pelaku Pembunuhan Ini, Saksi Mengelak, ‘Fitnah!’

Kepada Soeharto, Sultan meneruskan pesan Soedirman agar ia memimpin serangan umum.

Serangan akan dilakukan pukul 06.00 saat sirene di samping pasar Beringharjo berbunyi.

Seluruh prajurit akan memakai janur kuning yang di ikat di leher, kepala dan tangan, sebagai simbol keselamatan, seperti diceritakan dalam cerita wayang Anoman Obong.

Soeharto menyanggupi hal tersebut,"Sebelum berpisah Sultan menegaskan kembali kepada Soeharto bahwa serangan ini tak boleh gagal," kata Marsoedi, yang kala itu berpangkat Letnan satu dan bertugas sebagai perwira Intel yang mengawal Soeharto menuju Keraton, dalam buku Warisan (daripada) Soeharto.

Baca Juga: Profil dan Biodata Jesse Choi, Suami Dari Penyanyi Cantik Maudy Ayunda

Serangan Umum 1 Maret memang berhasil dengan gemilang. Sebenarnya serangan itu akan dilakukan pada 28 Februari, tapi gagal karena informasi bocor. Selama enam jam TNI menguasai kota dan berhasil mengunci Yogyakarta.

Keberhasilan TNI ini disiarkan lewat RRI dan diteruskan ke pemancar Radio Rimba Raya, Aceh, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia."Siaran radio ini ide Simatupang," kata Sukotjo, mata dunia kembali melihat Indonesia.

Dampak lainnya, delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin berapi-api mengobarkan keberadaan dan perjuangan bangsa Indonesia.***

 

Editor: Muh Romli

Sumber: Buku Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir

Tags

Terkini

Terpopuler