Korupsi Parah Setelah Pasukan AS Mundur, Permudah Taliban Cepat Kuasai Afghanistan

5 September 2021, 10:40 WIB
Juru Bicara Taliban, Suhail Shaheen /Twitter/@AJEnglish/

PRIANGANTIMURNEWS - Berbagai pertayaan pun muncul mengapa Taliban bisa cepat menguasai Afganistan. Salah satunya adalah korupsi parah, yang dilakukan pemerintah berkuasa di bawah Presiden Ashraf Ghani.

Hal terungkap dalam Diskusi publik bertema "Masa Depan dan Kesinambungan Failed State Afghanistan” (negara gagal) mengungkap penyebab utama Taliban bisa dengan cepat menguasai Afghanistan.

DIkutip priangantimurews.com dari Pikiran Rakyat, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Zulfikar Rahmat, Ph.D mengatakan Taliban bisa dengan cepat menguasai afghanistan karera strategi perang Taiban, legitisi masyarakat tinggi, korupsi parah.

Baca Juga: Erick Thohir Lakukan Pengecekan Ketersediaan Vitamin dan Obat-Obatan Covid-19

“Taliban dapat dengan cepat menguasai Afghanistan disebabkan oleh strategi perang Taliban, legitimasi masyarakat yang tinggi, serta korupsi yang parah pada pemerintahan dan mundurnya pasukan AS,” kata Zulfikar dalam diskusi virtual.

Diskusi itu diselenggarakan Indef bekerja sama dengan Universitas Paramadina dan Universitas Islam Indonesia (UII).

Hadir pula pembicara Dr. Phil. Shiskha Prabawaningtyas, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy dengan moderator Peneliti Indef Eisha Maghfiruha Rachbini.

Baca Juga: Dokter Tirta Sebut Deddy Corbuzier Selamat Dari Kritis Karena Pola Hidup Sehat

Zulfikar Rahmat mengatakan, intervensi berbagai negara di Afghanistan meninggalkan penderitaan hingga 50% warganya hidup di bawah garis kemiskinan.

Disebutkan, sejarah Afghanistan merupakan negara yang kerap dilanda perang akibat diintervensi oleh berbagai negara seperti Inggris (1839-1919), Uni Soviet (1979-1989), dan Amerika Serikat (AS) pada 2001-2021.

Sebanyak 5,5 juta penduduk Afghanistan berada mengalami food insecurity, defisit neraca perdagangan yang mencapai sekitar 30% GDP, dan ketergantungan 80% pada dana bantuan luar negeri.
“Wajar kemudian Afghanistan dijuluki sebagai negara gagal,” katanya.

Baca Juga: Buat Penggemar Bola, Inilah 5 Film dan Dokumenter tentang Sepak Bola yang Wajib Anda Tonton

Rangking Gross domestic product (GDP) nya berada di papan bawah pada urutan 213 dari 228 negara, dan rangking utang publik di posisi 202 dari 228 negara.

“Sementara kredit sektor swasta hanya mencapai 3% dari GDP, namun belanja keamanan mencapai 28 % dari GDP pada 2019,” ujar Zulfikar.

China yang melihat dengan jeli peluang memanfaatkan mundurnya Amerika Serikat, segera “merapat” ke pihak Taliban.

Baca Juga: Masker Lidah Buaya untuk Kulit dan Rambut

Hal itu karena ambisi China yang ingin mewujudkan jalur One Belt One Road (OBOR)-nya melintasi Afghanistan via Asia Tengah, Eropa Timur dan Eropa Barat.

Dosen UII ini juga menyatakan bahwa Afghanistan mempunyai potensi cadangan logam (rare earth) bahan pembuat microchip dan teknologi mutahir lainnya, yang diperkirakan bernilai 1 triliun dolar AS.

“Hal lainnya, China juga ingin mengurangi potensi penyebaran jaringan teroris terkait muslim Uighur di Xinjiang.” katanya.

Menyinggung hubungan ekonomi Zulifkar menyatakan, Indonesia mendapat peluang ekonomi terbatas ke Afghanistan. Peringkat ke 127 negara tujuan ekspor Indonesia dengan total nilai ekspor sebesar 21,38 juta dolar AS pada 2020.

Meskipun kontribusi ekspor Indonesia ke Afghanistan hanya 163,19 miliar dolar AS, namun tren pertumbuhan ekspor cukup positif mencapai 2,91% pada 2016 sampai 2020.

Baca Juga: 8 Manfaat Telur bagi Anak

Masih menurut Zulfikar bahwa di masa pandemi ini ekspor RI mampu tumbuh positif 36,87% secara tahunan. Tercatat surplus neraca perdagangan RI sebesar 20,89 juta dolar AS dengan Afghanistan.

"Ekspor produk farmasi RI juga tumbuh 365,69% dari 507,7 ribu dolar (Januari-Juni 2020) menjadi 2,36 juta dolar pada Januari-Juni 2021.” katanya.

Menurut Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas secara kajian geopolitik, Afghanistan sebagai negara “Landlord” yang tak henti bergejolak, juga dikeliingi oleh negara-negara yang juga relatif “bermasalah” seperti Iran di selatan.

“Pakistan sebagai tempat transit dan pemupukan ideologi Taliban pada awalnya, Turkmenistan dan tentu saja bertetangga dengan negara besar seperti Rusia dan China,” katanya.

Baca Juga: Lima Artis Terkaya di Indonesia Tahun 2021, Agnes Monica Kekayaannya Tembus 420 Miliar

Ia menyatakan bahwa Afghanistan juga lahan subur bagi cerita-cerita “proxywar” transmisi ideologi transnasional berkembang.

“Ketika Rusia mundur dari Afghanistan menandai berakhirnya perang dingin dan munculnya landasan baru yakni sovereignity atau kedaulatan negara yang sering kali menjadi konsep utama studi-studi Hubungan Internasional,” kata Shiskha.

Afghanistan juga tak ketinggalan menjadi dasar bagi pemahaman baru konsep makna kedaulatan negara.

Baca Juga: Benarkah Makan Kacang Hijau Saat Hamil Membuat Rambut Bayi Lebat

Begitu pula dengan konsep “failed state” atau negara gagal yang mengambil Afghanistan (selain Somalia dulu) sebagai contoh kasus.

Shikha mengungkapkan bahwa peristiwa 9/11 di Amerika Serikat juga menjadi dasar diskusi kedaulatan negara terkait praktik diplomasi, coercive diplomacy, dan international organization.

“Invasi AS ke Afghanistan untuk menggulingkan pemerintahan Taliban pada 2001 menandai kebijakan coercive diplomacy AS untuk mencari pelaku serangan 9/11 yang dianggap dilindungi oleh pemerintahan Taliban.” Kata Shiskha.

Baca Juga: Mau Bantuan Subsidi Upah BSU 2021 Kemnaker Rp3,5 Juta, Begini Syarat-syaratnya

“Coercive diplomacy AS ke Afghanistan kala itu bahkan mendapatkan semacam persetujuan dari badan dunia PBB dan dijadikan landasan bagi perang melawan terorisme di seluruh dunia.” pungkasnya.*** (Satrio Widianto/Pikiran Rakyat)

 

Editor: Muh Romli

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler