“Mengkriminalkan keputusan pribadi individu akan tampak besar dalam matriks keputusan banyak perusahaan yang menentukan apakah akan berinvestasi di Indonesia,” katanya.
Albert Aries, juru bicara kementerian kehakiman Indonesia, mengatakan undang-undang baru yang mengatur moralitas dibatasi oleh siapa yang dapat melaporkannya, seperti orang tua, pasangan, atau anak dari tersangka pelaku.
“Tujuannya adalah untuk melindungi lembaga perkawinan dan nilai-nilai keindonesiaan, sekaligus mampu melindungi privasi masyarakat dan juga meniadakan hak masyarakat atau pihak ketiga lainnya untuk melaporkan hal ini atau 'bermain hakim' atas atas nama moralitas," katanya.
Undang-undang ini adalah bagian dari serangkaian perubahan hukum yang menurut para kritikus merusak kebebasan sipil di negara demokrasi terbesar ketiga di dunia itu.
Undang-undang lainnya termasuk larangan ilmu hitam, menghina presiden atau lembaga negara, menyebarkan pandangan yang bertentangan dengan ideologi negara, dan melakukan protes tanpa pemberitahuan.
Pembuatannya selama beberapa dekade, legislator memuji pengesahan hukum pidana sebagai perbaikan yang sangat dibutuhkan dari sisa-sisa kolonial.
"UU lama milik warisan Belanda ... dan sekarang sudah tidak relevan lagi," kata Bambang Wuryanto, ketua komisi parlementer yang bertugas merevisi KUHP kepada anggota parlemen.
Para penentang RUU tersebut telah menyoroti artikel-artikel yang mereka katakan akan mengekang kebebasan berbicara dan merupakan "kemunduran besar" dalam memastikan dipertahankannya kebebasan demokrasi setelah jatuhnya pemimpin otoriter Suharto pada tahun 1998.