Network
PRIANGANTIMURNEWS - Kejadian-kejadian berkaitan dengan cuaca ekstrim di beberapa wilayah Indonesia belakangan ini banyak dipengaruhi anomali iklim global hingga faktor yang bersifat lokal.
Awal tahun ini terjadi sejumlah bencana yang oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) disebut bencana hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi adalah bencana alam yang terjadi sebagai dampak dari fenomena meteorologi seperti angin kencang, hujan lebat, dan gelombang tinggi.
Sejak akhir September 2020, pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik Ekuator menunjukkan bahwa anomali iklim La Nina sedang berkembang.
Baca Juga: Jangan Pelit untuk Bersedekah, Ini Akibatnya Kalau Sedekah Rp10.000 Dianggap Terlalu Besar
La Nina sendiri adalah fenomena atmosfer yang terjadi ketika Suhu Muka Laut (SML) di Samudera Pasifik bagian tengah mengalami pendinginan di bawah kondisi normalnya.
Pendinginan SML ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah sehingga meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum. Perkembangan nilai anomali suhu muka laut di wilayah tersebut masing-masing adalah -0.6°C pada bulan Agustus, dan -0.9°C pada bulan September 2020.
Akibatnya, peningkatan curah hujan tinggi di wilayah Indonesia. Beberapa fenomena atmosfer yang terpantau muncul secara bersamaan menjadi penyebab potensi hujan tinggi.
Baca Juga: Kunci Hidup Sehat dengan Rajin Sarapan Pagi
BMKG dan pusat layanan iklim lainnya seperti NOAA (Amerika Serikat), BoM (Australia), JMA (Jepang) memperkirakan La Nina dapat berkembang terus hingga mencapai intensitas La Nina Moderate. Diperkirakan akan mulai meluruh pada Januari-Februari dan berakhir di sekitar Maret-April 2021.
Curah hujan yang tinggi mengakibatkan debit air meningkat di hampir seluruh daerah di Indonesia. Jawa Barat menjadi salah satu daerah yang disantroni debit air yang tinggi hingga terdampak banjir sampai saat ini.
