Mahkamah Konstitusi Tolak Permohonan Perkawinan Beda Agama, Ternyata Ini Alasannya

3 Februari 2023, 06:33 WIB
Ilustrasi MK Tolak gugatan legalkan nikah beda agama/Pexels /

PRIANGANTIMURNEWS -Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para pemohon yang ingin melegalkan perkawinan beda agama.

Putusan itu berdasarkan hasil sidang yang digelar pada Selasa, 31 Januari 2023 lalu.

“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata  Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya di Ruang Sidang MK.

Baca Juga: Warga Ciamis Harus Bangga! Deris Nagara Menjadi Ketua BEM di Columbia University Amerika Serikat!

Dikutip priangantimurnews.com dari situs resmi MKRI, dijelaskan bahwa keabsahan perkawinan merupakan domain agama melalui lembaga atau organisasi keagamaan yang berwenang atau memiliki otoritas memberikan penafsiran keagamaan.

Kemudian dijelaskan pula peran negara dalam hal perkawinan yakni mengenai pelaksanaan pencatatan dalam rangka memberikan kepastian dan ketertiban administrasi kependudukan sesuai dengan semangat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum MK dalam Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, perkara pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca Juga: Setelah Garut, Giliran Lampung Diguncang Gempa Berkekuatan 4,7 Magnitudo!

Sebelumnya diketahui adanya pengajuan pelegalan perkawinan beda agama yang diajukan oleh E. Ramos Petege seorang pemeluk agama Katholik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.

MK dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan, dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat.

“Maka melalui Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010, MK telah memberikan landasan konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan administratif perkawinan dalam koridor hukum,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih

Hak Asasi Manusia dalam Perkawinan

HAM dalam perkawinan sudah dipertimbangkan MK dengan merujuk pada konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 huruf f dan Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974.

Namun demikian HAM yang berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.

Baca Juga: Siapkan 450 ribu ton perbulan, Mendag Pastikan Harga MinyaKita Normal Lagi Jelang Ramadhan dan Lebaran

Kemudian dalam hal jaminan perlindungan HAM secara universal tertuang dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR).

Walaupun telah dideklarasikan sebagai bentuk kesepakatan bersama negara-negara di dunia, penerapan HAM di tiap-tiap negara disesuaikan pula dengan ideologi, agama, sosial dan budaya rakyat di negara masing-masing. 

Pada rumusan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, ada dua hak yang dijamin secara tegas yakni 'hak membentuk keluarga' dan 'hak melanjutkan keturunan'.

Frasa berikutnya menunjukkan bahwa ‘perkawinan yang sah’ merupakan prasyarat dalam rangka perlindungan kedua hak yang disebutkan sebelumnya.

Artinya, perkawinan bukan diletakkan sebagai hak melainkan sebagai prasyarat bagi pelaksanaan hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan.

Baca Juga: Gegara Latto latto Driver Ojol Ini Dibuat Bingung, Ternyata Ini Penyebabnya!

Oleh karenanya, berdasarkan uraian tersebut maka telah jelas bahwa dalam konteks perlindungan hak untuk menikah terdapat perbedaan mendasar antara UDHR dengan UUD 1945.

Sebagai negara hukum yang menegakkan supremasi konstitusi tanpa mengesampingkan hak asasi yang bersifat universal dalam UDHR sudah seharusnya MK menjadikan UUD 1945 sebagai landasan utama dalam menilai hak konstitusional warga negara.

Aturan Perkawinan

Keberadaan negara dalam hal perkawinan dijelaskan oleh MK dengan mempertimbangkan dalam Putusan Nomor 56/PUU-XV/2017 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 23 Juli 2018.

Hal itu dijelaskan berkenaan dengan beragama pada dasarnya terbagi menjadi dua, pertama beragama dalam pengertian menyakini suatu agama tertentu yang merupakan ranah forum internum yang tidak dapat dibatasi pemaksaan bahkan tidak dapat diadili.

Kedua, beragama dalam pengertian ekspresi beragama melalui pernyataan dan sikap sesuai hati Nurani di muka umum yang merupakan ranah forum externum.

Baca Juga: Gak Habis Pikir, Seorang Pria Terekam CCTV Mencuri Pakaian Dalam Wanita, Dicium Dulu Baru Kabur

Kemudian perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama.

Dengan demikian, perkawinan dikategorikan sebagai forum eksternum di mana negara dapat campur tangan sebagaimana halnya dengan pengelolaan zakat maupun pengelolaan haji.

Dari sini jelas terlihat bahwa peran negara bukanlah membatasi seseorang melainkan lebih dimaksudkan agar ekspresi beragama tidak menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang dianut.

Sebagaimana yang diketahui, perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan hukum di Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU 1/1974.

Segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga negara termasuk dalam hal menyangkut urusan perkawinan harus taat dan tunduk serta tidak bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan dibentuk untuk mengatur dan melindungi hak dan kewajiban setiap warga negara dalam kaitannya dengan perkawinan.

Pengaturan itu sejalan dengan hak yang dijamin UUD 1945, setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis berdasarkan hukum.

Selain itu, campur tangan negara dalam penyelenggaraan perkawinan ialah menindaklanjuti hasil penafsiran lembaga atau organisasi keagamaan untuk memastikan bahwa perkawinan harus sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Hasil penafsiran itulah yang kemudian dituangkan oleh negara dalam peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian yang membuat penafsiran keabsahan perkawinan beda agama tetaplah pemuka agama.

Dalam hal ini yang telah disepakati melalui lembaga atau organisasi keagamaan, bukan penafsiran yang dilakukan oleh individu yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam keputusannya, MK menjelaskan terkait ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yang berisi memberikan suatu koridor bagi pelaksanaan perkawinan bahwa agar perkawinan sah maka perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

Berlakunya ketentuan pasal 2 ayat (1) bukan berarti menghambat ataupun menghalangi kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan kepercayaannya.

Kaidah pengaturan norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai memilih agama dan kepercayaan.

Pilihan untuk memeluk agama dan kepercayaannya tetaplah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih, menganut dan meyakininya sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.

Pada intinya, negara perlu mempertimbangkan terkait perkawinan beda agama agar kiranya pada masa yang akan datang jika akan dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan dimaksud, memberikan atensi penyelesaian secara komprehensif baik secara jalan keluar atas keabsahan dari hukum agama/kepercayaannya, maupun dalam hal mengakomodir akibat hukum pencatatannya.***

 

Editor: Muh Romli

Sumber: mkri.id

Tags

Terkini

Terpopuler