Ditengah Laporan Lonjakan Besar Kasus COVID, Pemerintah China Hentikan Penerbitan Data Harian

26 Desember 2022, 19:14 WIB
Ilustrasi aksi protes warga china /Pixel/

PRIANGANTIMURNEWS – Rakyat China harus mengalami kekhawatiran yang sangat besar di tengah melonjaknya angka kasus COVID di negara tersebut.

Ditambah masyarakat harus menelan kenyataan bahwa pemerintah China berhenti menerbitkan data harian COVID-19.

Semakin menambah rasa cemas, bahwa negara tersebut menyembunyikan informasi negatif tentang pandemic setelah kebijakan pelonggaran pembatas yang baru diterbitkan.

Komisi Kesehatan China mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak akan lagi mempublikasikan data setiap hari Minggu.

Baca Juga: Mak Enah Tewas Terpanggang Hingga Tinggal Tulang Belulang!

“Mulai sekarang, CDC (Pusat pengendalian dan Pencegahan Penyakit) China akan merilis informasi COVID yang relevan untuk referensi dan penelitian” ungkap Komisi Kesehatan Nasional, pada hari Minggu, 25 Desember 2022.

Bahkan yang lebih parah, Komisi Kesehatan Nasional China bahkan tidak menjelaskan alasan terkait mengapa perubahan tersebut dilakukan, tepatnya alasan menghentikan penerbitan data dan tidak pula menunjukkan seberapa sering dan rumit CDC akan merilis data terkait.

Perlu diketahui bahwa China mengalami lonjakan kasus baru COVID sejak pembatasan mulai dilonggarkan. Bahkan di provinsi Zhejiang timur China, pemerintah provinsi mengatakan mengalami sekitar 1 juta kasus baru setiap harinya.

Sementara itu, Bloomberg dan Financial Times melaporkan perkiraan data yang bocor dari pejabat tinggi kesehatan China bahwa sebanyak 250 juta orang mungkin telah terinfeksi dalam 20 hari pertama bulan Desember.

Baca Juga: Inilah Kelebihan Memakai iPhone yang Tidak Bisa Dilakukan HP Android

Bahkan terlepas dari kasus lonjakan Covid 19, China menangguhkan sebagian besar tempat pengujian publik. Itu berarti sudah sangat jelas tidak ada ukuran publik yang akurat tentang skala infeksi di seluruh Negeri itu.

Sebelum empat hari menjelang keputusan Komisi Kesehatan dalam pengumuman laporan nol kasus kematian akibat COVID serta mengakhiri publikasi data, mereka mengecualikan penghitungan data kematian orang yant terinfeksi COVID tetapi memiliki penyakit lain atau kondisi kesehatan yang buruk.

Pekan sebelumnya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan bahwa China kemungkinan jatuh melewati kurva dalam pelaporan data, serta menawarkan bantuan untuk mengumpulkan informasi.

"Di Cina, yang dilaporkan adalah jumlah kasus yang relatif rendah di ICU, tetapi secara anekdot ICU sedang penuh," ungkap Program Kedaruratan Kesehatan WHO Michael Ryan.

Baca Juga: Latto-Latto atau Nok-Nak yang Viral, Sempat Dilarang di Amerika dan Dibenci di Mesir

Bahkan Airfinity, lembaga kesehatan data firma di Inggris menganalisa bahwa minggu lalu angka COVID yang sebenarnya muncul di China adalah 1 juta infeksi dan 5.000 kematian setiap hari.

Pada hari Jumat, seorang pejabat kesehatan di Qingdao di provinsi Shandong timur China mengatakan kota itu melihat sekitar 500.000 kasus COVID baru setiap hari.

Laporan itu dibagikan oleh outlet berita, tetapi kemudian tampaknya telah diedit untuk menghapus angkanya. Dilaporkan pula bahwa ada lonjakan kebutuhan akan krematorium.

Diketahui bahwa setelah pedoman baru akhirnya dirilis Komisi Kesehatan Nasional China pada tanggal 7 Desember lalu. Frekuensi dan ruang lingkup pengujian PCR telah dikurang.

Baca Juga: Link Live Streaming Piala AFF 2022 Brunei vs Indonesia: Shin Tae-yong Isyaratkan Rotasi Pema

“Tes PCR massal hanya dilakukan di sekolah, rumah sakit, panti jompo dan unit kerja berisiko tinggi; ruang lingkup dan frekuensi pengujian PCR akan dikurangi lebih lanjut,” isi pedoman baru tersebut berbunyi.

Padahal sebelumnya China amat gencar menggelar tes COVID 19, jika menemui kasus baru di daerah tertentu. Namun di bawah pedoman yang terbaru, warga China bahkan tidak diwajibkan lagi memberikan hasil tes negatif COVID-19 ketika akan bepergian lintas Provinsi.

Bahkan saat ini China sedang memperkecil cakupan lockdown. Warga yang terinfeksi COVID-19 dengan gejala ringan diperbolehkan menjalani isolasi mandiri di rumah masing-masing. Kebijakan yang benar-benar bertentangan dengan kondisi realita.

Padahal sebelum kebijakan tersebut diterapkan, masyarakat yang terinfeksi COVID-19 meskipun bergejala ringan, akan dipaksa melaksanakan karantina di fasilitas kesehatan.

Baca Juga: RESMI! Ricky Fajrin Diangkut Ke Persib Bandung Oleh Luis Milla Pada 14 Januari 2023!? Cek Faktanya

Diketahui bahwa, pedoman terbaru COVID-19 di China diluncurkan setelah pemerintah merilis data yang menunjukan dampak negatif kebijakan nol covid terhadap perekonomian negara tersebut.

Salah satunya anjloknya nilai ekspor dan impor China bulan November menuju level yang belum pernah terjadi sejak 2020. Dilaporkan 8,7 persen ekspor China turun bulan lalu. Sementara 10,6 persen impor turun bulan lalu.

Aksi memprotes penerapan lockdown telah terjadi di sejumlah wilayah China, diantaranya Beijing dan Shanghai pada 27 November. Massa aksi protes tersebut menyerukan Presiden China Xi Jinping mundur, akibat frustasi dengan kebijakan nol Covid pemerinta pusat.

Dilaporkan pada 24 November lalu telah terjadi kebakaran mematikan di Urumqi, Xinjiang yang menewaskan setidaknya 10 orang. Memicu kemarahan warga China, karena mereka menilai upaya penyelamatan insiden itu terhambat karena adanya peraturan lockdown.

Baca Juga: Epic Games Bagikan Game Gratis, Hari Ini Ada Death Stranding

Kejadian tersebut mendorong warga berbondong-bondong turun kejalan untuk memprotes penerapan lockdown serta menunjukan simpati kepada korban.

Setelah pelonggaran kebijakan nol Covid tersebut, justru China malah mengalami lonjakan kasus.

Institut Metrik dan Evaluasi Kesehatan Universitas Washington memperingatkan kasus kematian hingga 1 juta pada tahun 2023 mendatang, jika China tidak menerapkan kembali kebijakan social distancing***

Editor: Galih Cipta Nugraha

Sumber: www.npr.org

Tags

Terkini

Terpopuler